promo

Derita Guru Honorer Menjelang Hari Raya

Dziki Fajar Alfian Ramadhani, alumni Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Oleh: Dziki Fajar Alfian Ramadhani*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Menjelang hari raya, biasanya ada dua tipe manusia di Indonesia. Pertama, mereka yang berencana belanja baju baru, ngelist tempat liburan untuk berlibur dengan sanak saudara, dan berburu tiket mudik.

Kedua, mereka yang hanya bisa menatap saldo rekening sambil merenung. “THR itu singkatan dari apa, ya? Tahan Hidup Rek?” Dan jika kamu seorang guru honorer, kemungkinan besar kamu masuk kategori kedua.

Promo

Iya, iya, kita semua tahu kalau guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi sepertinya ada tambahan: “pahlawan tanpa gaji layak”.

Kalau pegawai negeri atau PPPK menjelang hari raya mereka tenang karena mereka dapat menghitung berapa THR yang bakal cair, akan tetapi guru honorer malah sibuk menghitung berapa hari lagi gaji mereka cukup untuk bertahan hidup.

Guru Honorer: Mengajar dengan Hati, Bertahan dengan keterbatasan gaji

Promo

Dari dulu, guru honorer sudah hidup dalam sistem “cinta profesi lebih besar walaupun dompet tidak banyak terisi”. Mereka tetap mengajar dengan sepenuh hati, walau gaji yang diterima kadang kalah jumlah dibandingkan biaya ngekos mahasiswa di Jogja.

Sementara guru-guru PNS bisa menikmati gaji tetap, tunjangan, dan THR yang lumayan buat beli baju baru untuk hari raya tampil berseri, guru honorer justru cuma bisa “gigit jari”.

Padahal, mereka sama-sama mengajar, sama-sama menghadapi murid-murid yang kadang lebih sulit dipahami daripada soal matematika, dan sama-sama berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa, bedanya cuma status. Dan di negeri ini, faktanya status lebih menentukan kesejahteraan dibanding kerja keras.

Sebenarnya, Akar Masalahnya di Mana?

Masalah kesejahteraan guru honorer ini bukan hal baru. Ini semacam tradisi kelam yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pertama, Anggaran Pendidikan Ada, tapi Nggak Sampai ke Mereka, Setiap tahun, anggaran pendidikan digelontorkan triliunan rupiah. Tapi entah kenapa, guru honorer tetap gajinya segitu-gitu aja. Duitnya lari ke mana? Tanyain ke yang bikin kebijakan.

Lebih parah lagi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) justru melakukan efisiensi sebesar 23,95% atau Rp8,03 triliun dari anggaran belanja awal sebesar Rp33,5 triliun.

Bukannya anggaran pendidikan ditambah untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, malah dipangkas hampir seperempatnya. Kalau sudah begini, makin kecil harapan ada perbaikan gaji buat guru honorer.

Kedua Status yang Nanggung, Guru honorer ini mirip dengan HTS (hubungan tanpa status). Udah bertahun-tahun mengabdi, tapi kalau nggak lulus tes PPPK? Ya tetap honorer. Padahal, skill-nya sama, kerjaannya juga sama.

Ketiga Beban Kerja Banyak, Tapi Gaji? Yah… Selain mengajar, guru honorer juga harus ngurus administrasi, absen online, bikin laporan, dan lain-lain. Bedanya sama guru PNS? Cuma di jumlah angka di slip gaji.

Jadi, Solusinya Apa?

Kalau pemerintah benar-benar peduli, seharusnya ada langkah konkret. Bukan cuma janji manis di kampanye. karena kebijakan pemerintah sangat berpengaruh sekali terhadap terciptanya kehidupan adil dan makmur pada masyarakat.

Solusi pertama adalah Berikan Gaji Layak Kalau pejabat bisa dapat tunjangan besar, masa guru honorer nggak bisa dikasih upah yang pantas?

Kedua, Jangan Terlalu Ribet Urusan Status, Udah mengabdi bertahun-tahun, masa masih harus dites berkali-kali buat dapat kepastian? Kalau memang butuh, ya angkat aja. Jangan kasih harapan palsu.

Konklusi: Sampai Kapan Begini Terus?

Kalau kita benar-benar menghargai pendidikan, seharusnya kita juga menghargai orang-orang yang mengabdi di dalamnya.

Bukan cuma dalam bentuk pujian klise seperti “Tanpa guru, kita bukan siapa-siapa”, tapi juga dalam bentuk nyata seperti gaji yang layak, tunjangan, dan jaminan masa depan.

Kalau nggak, ya siap-siap aja. Nanti generasi selanjutnya belajar dari orang-orang yang sebenarnya sudah kehilangan harapan, tapi tetap bertahan karena nggak punya pilihan lain. Huft! (Red)

*) Dziki Fajar Alfian Ramadhani, alumni Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like