suaramuda

Danantara: Investasi Cerdas Negara atau Permainan Elite Belaka?

Queen Nirvana Latifah, mahasiswa Prodi Manajemen FEM IPB University

Penulis: Queen Nirvana Latifah, mahasiswa Prodi Manajemen FEM IPB University, tinggal di Jakarta

SUARAMUDA, SEMARANG — Apa yang terjadi jika perusahaan-perusahaan negara raksasa dikendalikan oleh satu lembaga investasi?

Itulah konsep dari Daya Anagata Nusantara (Danantara), Sovereign Wealth Fund (SWF) terbaru milik Indonesia yang baru saja diresmikan pada 24 Februari 2025 kemarin.

Melalui konsolidasi tujuh BUMN raksasa di bawah satu payung superholding bernama Danantara, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengklaim ini sebagai kekuatan untuk menunjang perekonomian Indonesia di masa depan.

suaramuda

Namun, di balik narasi optimistis tersebut, benarkah ini langkah cerdas untuk memperkuat ekonomi? atau justru permainan baru untuk mengukuhkan oligarki?

Sumber Dana dan Skema Superholding Danantara

Pada tahap awal, Danantara akan mengelola tujuh BUMN raksasa, di antaranya PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT PLN, PT Pertamina, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Telkom Indonesia Tbk, PT Mineral Industri Tbk.

SWF Indonesia yang sudah berdiri terlebih dahulu, yaitu Indonesia Investment Authority (INA) juga akan bergabung ke dalam payung superholding ini.

Selain itu, sumber dana Danantara juga berasal dari efisiensi anggaran negara yang awalnya digembar-gemborkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dari penggabungan tersebut, total aset yang akan dikelola oleh Danantara ditaksir mencapai Rp 14 ribuan triliun tergantung kurs US$.

Dalam skema ini, seluruh dana dan dividen BUMN yang sebelumnya langsung masuk ke dalam APBN sebagai bagian dari pendapatan negara, kini akan dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi oleh Danantara.

Kemudian, dana tersebut akan diinvestasikan ke dalam berbagai proyek infrastruktur, energi, dan sektor lainnya yang dianggap berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan akan dikembalikan jika laba.

Jika berjalan dengan lancar, Danantara akan sangat menarik bagi investor global masuk ke Indonesia dan berpengaruh besar terhadap perekonomian. Namun, bagaimana jika gagal?

Ya, benar konsekuensinya akan sangat besar. APBN dapat mengalami defisit, aset BUMN akan merosot, dan investor pun akan semakin jauh dari Indonesia.

Secara kasar, Danantara ini tidak boleh gagal dan main-main karena pada akhirnya jika gagal dan rugi besar dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara serta berimbas pada melemahnya nilai tukar rupiah.

Untuk itu, perlu diketahui bagaimana rencana dari pengelolaan superholding ini agar sukses menjadi kekuatan ekonomi Indonesia di masa depan?

Indikasi Kepentingan Politik

Untuk meminimalisir kegagalan dan berjalan lancar, Danantara harus memiliki transparansi dan pengawasan yang baik sebagai kuncinya.

Orang-orang yang menempati struktur organisasi harus kompeten dan profesional. Superholding ini juga harus independen dan tidak tercampur oleh kepentingan pribadi dan politik.

Namun, muncul dugaan bahwa Danantara adalah permainan baru elite politik. Presiden Prabowo Subianto meminta seluruh mantan Presiden RI menjadi pengawas Danantara.

Selain itu, Kaesang Pangarep, anak dari mantan Presiden RI ke-6, dikabarkan juga akan menempati posisi strategis dalam struktur Danantara.

Hal ini semakin memperkuat bahwa adanya indikasi keterlibatan elite oligarki dalam pengelolaan aset negara.

Lebih jauh lagi, Danantara nantinya akan berjalan sesuai aturan UU BUMN terbaru yang semakin membuat publik khawatir, pasalnya Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dilibatkan dalam pengawasan Danantara.

Dilansir dari tempo.com, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menyebutkan Danantara ini juga menyebabkan pengawasan keuangan BUMN semakin tidak transparan dan melemahkan kewenangan BPK.

BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya dapat melakukan pemeriksaan laporan keuangan jika ada permintaan dari DPR atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Semua pengawasan akan dilakukan oleh Dewan Pengawas juga DPR yang membantu mengawasi. Dewan Pengawas dan badan pelaksana pun tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian dengan empat syarat.

Pertama, kerugian Danantara bukan karena kesalahan atau kelalaian mereka. Kedua, mereka telah mengelola dengan itikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan tujuan investasi dan tata kelola. Ketiga, tidak memiliki kepentingan atas tindakan yang menyebabkan kerugian. Dan keempat, telah mengambil tindakan untuk mencegah kerugian tersebut.

Meskipun demikian, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dan independen, risiko penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan Danantara tetap menjadi kekhawatiran utama.

Dengan terbatasnya peran BPK dan KPK serta perlindungan hukum bagi dewan pengawas dan badan pelaksana, terdapat celah besar yang dapat dimanfaatkan oleh elite tertentu untuk kepentingan pribadi.

Jika transparansi dan akuntabilitas tidak menjadi prioritas, bukan tidak mungkin Danantara justru menjadi alat baru bagi oligarki, bukan sebagai solusi untuk memperkuat ekonomi nasional.

Danantara versus Temasek

Sebagai superholding BUMN, Danantara digadang-gadang akan sesukses Temasek, SWF milik Singapura yang telah sukses mengelola aset negara selama puluhan tahun sejak 1974.

Kedua superholding ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan walaupun sekilas mirip.

Danantara dan Temasek sama-sama dimiliki oleh negara, tetapi Temasek beroperasi secara independen dibanding dengan Danantara yang sangat erat kaitannya dengan pemerintah, terlebih langsung di bawah presiden dan dipengaruhi oleh kebijakan nasional.

Selain itu, Temasek juga dikelola oleh orang-orang independen atau non-pemerintah, berbeda dengan Danantara yang dikelola oleh badan pengawasan di bawah presiden.

Namun, dari sejumlah perbedaan yang ada Danantara masih memiliki peluang untuk sukses seperti Temasek asalkan memperbaiki aspek transparansi, independensi, dan tata kelola.

Pemerintah harus menjaga sentimen dan kepercayaan rakyat Indonesia agar Danantara tidak berakhir seperti skandal 1MDB Malaysia atau kasus gagalnya SWF Indonesia yang lain, seperti Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara triliunan rupiah.

Terlebih lagi, salah satu sumber dana Danantara berasal dari hasil efisiensi anggaran negara, termasuk sektor pendidikan dan kesehatan yang saat ini menjadi sorotan publik dan memicu demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Hal yang paling penting untuk memperbaiki Danantara ini adalah sistem pengawasan yang independen dan seluruh struktur tidak memiliki kepentingan apa pun dalam organisasi ini.

Selain adanya dewan pengawas di bawah presiden, lebih baik lagi jika ada keterlibatan auditor independen yang dapat berperan dalam memastikan bahwa dana dikelola dengan benar dan tidak adanya penyalahgunaan.

Danantara juga dapat mengadopsi praktik Temasek yang menggunakan standar transparansi nasional dan menerbitkan laporan keuangannya sehingga dapat diakses oleh publik.

Dengan demikian, Danantara dapat menjadi superholding yang kuat mewujudkan cita-cita menjadi kekuatan perekonomian di Indonesia asalkan ada komitmen nyata dari pemerintah untuk menjadikannya sebagai lembaga yang transparan, akuntabel, dan bebas dari kepentingan politik. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo