
SUARAMUDA, SEMARANG – Dalam serangkaian kunjungan Internasional Outbond Mobility, salah satu destinasi yang dikunjungi rombongan Universitas Wahid Hasyim Semarang adalah kawasan Putrajaya, Malaysia, 13 Januari 2025.
Ya, Putrajaya dipilih karena wilayah itu merupakan IKN-nya Indonesia. Yakni kawasan kota baru du wilayah Malaysia yang kemudian menjadi pusat administrasi pemerintahan federal, Malaysia.
Di Putrajaya, salah satu spot wisata sekaligus peribadatan ikonik yang kita kunjungi adalah Masjid Putra. Letaknya yang berhadapan dengan Danau Putrajaya, masjid ini dibangun pada 1997-1999.
Masjid Putra pun tampak seperti terapung-apung di permukaan Danau Putra. Maka dari itulah, tak sedikit orang menyebut sebagai “Masjid Apung Putrajaya”. Dan saya, bersama rombongan dari Unwahas juga tak ingin melewatkan jadwal shalat di masjid nan megah itu.
Usai shalat, kami berkesempatan menikmati bangunan megah yang ditopang dengan balutan seni arsitektur Persia. Dari jauh terlihat bangunan kubah dengan warna merah muda memberikan kesan menawan.
Sembari duduk di serambi masjid, akhirnya berjumpa dengan seorang marbot. Dari sosoknya terlihat jelas, bahwa sebenarnya ia memiliki dedikasi yang tinggi. Ia juga menguasai berbagai bahasa asing seperti Mandarin, Vietnam, Korea, Jepang, Thailand, Persia, dan Inggris yang ia pelajari secara otodidak.
Selepas sholat kami berjalan ke serambi masjid sambail menikmati pemandangan sekitar, kami bertemu dengan seorang marbot yang luar biasa. Ia tidak hanya ramah, tetapi juga menguasai berbagai bahasa asing seperti Mandarin, Vietnam, Korea, Jepang, Thailand, Persia, dan Inggris yang ia pelajari secara otodidak.
Tujuanya sederhana; ia hanya ingin menyapa dan menyambut tamu yang datang dengan bahasa yang mereka pahami serta menciptakan suasana yang hangat dan personal.
Dalam bahasa Melayu, akhirnya kami berbincang hangat seputar Masjid Putrajaya. Sosok yang akrab dengan nama “Bang Khairul” itu bercerita detil tentang eksotisme arsitektur, dan lainnya.
Perpaduan tradisi Islam dan Modern
Masjid Putra, Putrajaya ini dibangun sebagai simbol keagungan yang menghubungkan antara tradisi Islam dan kemajuan modern. Sedangkan nama “Putra” di sematkan sebagai wujud penghormatan kepada Perdana Menteri pertama Malaysia yaitu Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj.
“Masjid ini dibangun di atas danau buatan, lalu didesain sedemikian rupa oleh arsitek ternama asal Kuala Lumpur Dr. Nik Mohammad. Sehingga masjid ini nampak seperti mengapung di atas danau Putrajaya, “ungkap bang Khairul.
Satu hal yang menarik perhatian saat kami berada di pelataran masjid—- ratusan wisatawan dari berbagai negara mengenakan jubah merah; menutup setelah pendek yang dikenakan sebelumnya
Mereka nampak asyik mondar-mandir menikmati keindahan masjid, dan tentunya dengan berswafoto.
“Memang masjid ini tak hanya milik Muslim. Bahkan, wisatawan non-Muslim juga diijinkan masuk. Namun ada peraturan yang harus di taati saat berada di lingkungan masjid, “ujar Marbot, Khairul.
Khaerul mengisahkan, bagi wisatawan yang berpakaian tidak sesuai tata cara Islami di wajibkan memakai jubah yang disediakan pihak masjid. Dikatakan, ada dua jenis jubah yang bisa disediakan untuk pengunjung.
“Jubah merah muda diperuntukan bagi non-Muslim dan jubah biru diperuntukan bagi wisatawan muslim yang menggunakan pakaian minim, “imbuhnya.
Ketentuan lainnya, bagi pewisatawan Muslim di perbolehkan menuaikan ibadah sholat di dalam masjid. Sedang wisatawan non-Muslim hanya diperbolehkan berada di pelataran masjid. Hal ini menjadikan masjid ini tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga simbol inklusivitas. (Red)
Penulis: M.Said Hidayatulloh