promo

Korupsi: Penyakit Sistemik yang Membusukkan Negara

Ilustrasi korupsi/ sumber gambar: pinterest

Oleh: Andri Rahman, Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan IPS FISIP UNNES

SUARAMUDA, SEMARANG – Ketika Organisasi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang berkantor di Belanda memasukkan Presiden Joko Widodo sebagai nominasi dalam daftar tokoh kejahatan terorganisasi dan terkorup dunia, itu menjadi tamparan keras bagi Indonesia.

Meski kontroversial, pencalonan ini menyoroti kemungkinan adanya persoalan mendalam dalam tata kelola negara yang semakin rapuh akibat korupsi sistemik.

Promo

Selama satu dekade terakhir, bukannya memudar, korupsi justru terlihat semakin terorganisir, merasuk ke setiap lapisan pemerintahan, dan mengakar pada institusi yang seharusnya menjadi benteng moral negara.

1. Top-Level: Korupsi dan Rusaknya Integritas Institusi Negara
Di level tertinggi, korupsi menciptakan lingkaran setan yang menghancurkan kepercayaan publik pada pemerintah.

Kebijakan-kebijakan strategis yang seharusnya mendorong kemakmuran justru digunakan untuk memperkaya segelintir elite. Revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 menjadi salah satu contoh nyata, di mana independensi lembaga antikorupsi dilemahkan, menciptakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.

a. Politisi dan Oligarki
Kepemimpinan Jokowi sering dikritik karena diduga terlalu dekat dengan oligarki. Koalisi politik yang terlalu besar membuka ruang untuk praktik politik transaksional. Dukungan elite ekonomi terhadap rezim ini kerap dianggap sebagai barter kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu.

b. Proyek Infrastruktur
Infrastruktur besar-besaran menjadi simbol pemerintahan Jokowi. Namun, tanpa transparansi yang memadai, proyek ini justru dianggap menjadi lahan subur bagi korupsi.

Promo

Praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa hingga mark-up anggaran berpotensi menggerogoti manfaat nyata proyek tersebut bagi masyarakat.

2. Mid-Level: Dampak pada Sektor Strategis
Korupsi yang terjadi di tingkat atas menciptakan rantai domino yang merusak sektor-sektor vital.

a. Sumber Daya Alam
Sektor sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan, adalah salah satu yang paling rentan terhadap korupsi.

Konsesi yang diberikan kepada korporasi besar sering kali dilakukan tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau kesejahteraan masyarakat lokal.

b. Layanan Publik
Korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan menyebabkan ketidakmerataan layanan. Anggaran yang besar untuk kedua sektor ini sering kali bocor ke kantong pejabat korup, meninggalkan rakyat dalam kondisi yang memprihatinkan.

Promo

c. Birokrasi
Praktik jual beli jabatan di pemerintahan lokal dan nasional menunjukkan betapa dalamnya korupsi telah mengakar. Ketika posisi publik dijadikan komoditas, pelayanan kepada masyarakat menjadi prioritas kedua setelah kepentingan pribadi.

3. Bottom-Level: Dampak pada Kehidupan Sehari-hari
Korupsi yang terjadi di tingkat atas dan menengah akhirnya membebani rakyat kecil.

Beberapa dampaknya meliputi:
Kesejahteraan Menurun: Dana yang seharusnya dialokasikan untuk subsidi atau bantuan langsung malah hilang di tangan koruptor.

Kepercayaan Publik Luntur: Masyarakat semakin sinis terhadap pemerintah, percaya bahwa hukum hanya berlaku bagi yang lemah.

Kesenjangan Sosial yang Meningkat: Korupsi memperlebar jurang antara elite dan rakyat kecil, memperparah ketimpangan ekonomi.

4. Refleksi Satu Dekade: Dimana Letak Kesalahan?
Dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ada beberapa dinamika yang patut disoroti:
Melemahnya Lembaga Pengawas: Upaya sistematis melemahkan KPK menunjukkan kurangnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Politik Transaksional: Koalisi gemuk pemerintahan membuat pengawasan terhadap kebijakan menjadi lemah, karena semua pihak terlibat dalam bagi-bagi kekuasaan.

Absennya Reformasi Struktural: Meski ada kemajuan dalam pembangunan fisik, reformasi struktural untuk mengatasi akar korupsi tidak terlihat signifikan.

5. Jalan Keluar: Perlu Revolusi Tata Kelola Negara
Untuk keluar dari lingkaran setan korupsi, Indonesia membutuhkan langkah-langkah drastis:

Penguatan Lembaga Antikorupsi: Kembalikan independensi KPK dan perkuat lembaga peradilan.

Transparansi dan Digitalisasi: Gunakan teknologi untuk memantau penggunaan anggaran secara real-time.

Reformasi Politik: Kurangi ketergantungan partai politik pada dana non-transparan dengan mendesain ulang sistem pendanaan kampanye.
Partisipasi Publik: Libatkan masyarakat sipil dalam pengawasan anggaran dan kebijakan.

Kesimpulan

Pencalonan Jokowi oleh OCCRP, terlepas dari kontroversi yang menyertainya, memberikan peringatan serius tentang kemungkinan rusaknya integritas negara akibat korupsi.

Dalam satu dekade terakhir, fokus pada pembangunan fisik mungkin telah mengabaikan pembangunan institusi yang lebih penting untuk menjaga keberlanjutan negara.

Tanpa tindakan tegas, korupsi akan terus menjadi kanker yang merusak sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo