promo

Beasiswa LPDP dan Fenomena Brain Drain

Ilustrasi/ sumber: pinterest

Oleh: Ahmad Alifiansyah Al Aziz*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Beberapa waktu lalu, Indonesia ramai memperbincangkan kebijakan terbaru terkait beasiswa LPDP yang memperbolehkan penerimanya untuk tidak kembali ke Indonesia dan mengabdi.

Kebijakan ini memicu berbagai komentar dari warganet, baik yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan ini.

LPDP, atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, merupakan satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola program beasiswa untuk membantu pelajar Indonesia melanjutkan studi ke jenjang magister atau doktoral.

Promo

Program beasiswa LPDP terbagi menjadi dua jenis, yaitu dalam negeri dan luar negeri. Beasiswa ini mencakup berbagai fasilitas, seperti biaya kuliah gratis, biaya pendaftaran universitas, dana sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tunjangan buku, dan lain-lain.

Dengan fasilitas yang sangat menggiurkan ini, tak heran banyak orang yang tertarik untuk memperoleh beasiswa LPDP. Namun, permasalahan muncul ketika penerima beasiswa tersebut diberi kebebasan untuk tidak kembali ke Indonesia dan mengabdi sesuai dengan kewajiban yang ada dalam peraturan sebelumnya.

Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, dan hal ini menjadi perbincangan hangat yang layak untuk dicermati lebih lanjut. Untuk memahami ini lebih dalam, kita harus mengetahui mengapa para mahasiswa penerima beasiswa tidak ingin kembali ke Indonesia.

Kebijakan dan Sistem yang Tidak Mendukung

Promo

Kebijakan yang tidak mendukung dan sistem yang rumit di Indonesia menjadi salah satu faktor utama. Pemerintah Indonesia sering kali membuat sistem birokrasi yang sangat rumit dan membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan publikasi riset.

Proses administratif yang panjang dan berbelit-belit sering kali menghambat upaya untuk melaksanakan inovasi atau riset baru.

Para penerima beasiswa LPDP yang memiliki potensi untuk berkontribusi melalui riset atau proyek-proyek inovatif mungkin merasa frustrasi dengan lambatnya proses izin dan dukungan administratif yang mereka hadapi di Indonesia.

Hal ini membuat mereka lebih memilih untuk bekerja di luar negeri, di mana sistem birokrasi umumnya lebih efisien dan mendukung perkembangan ide-ide baru.

Sebagai contoh, proses pengajuan dana hibah atau pendanaan penelitian di Indonesia melibatkan pengumpulan dokumen yang sangat banyak, dan meskipun semua dokumen telah diserahkan, proses evaluasi dan keputusan bisa memakan waktu lama.

Selain itu, ada banyak tahapan administrasi yang memerlukan verifikasi dan persetujuan dari berbagai instansi, yang sering kali memperlambat aliran dana dan menghambat kelancaran penelitian.

Sebaliknya, di negara-negara seperti Inggris, lembaga pendanaan seperti UK Research and Innovation (UKRI) menyediakan sistem yang lebih efisien dan transparan.

Pengajuan dana dilakukan melalui portal online yang memungkinkan peneliti untuk mengajukan proposal dengan cepat dan melacak statusnya secara real-time. Evaluasi dilakukan dengan kriteria yang jelas, dan keputusan dapat diumumkan lebih cepat.

Pendanaan di Inggris lebih berkelanjutan, dengan dukungan lanjutan untuk proyek yang berhasil. Sistem yang lebih mendukung penelitian dan riset inovatif ini menjadi daya tarik bagi banyak peneliti Indonesia untuk bekerja di luar negeri.

Kelayakan Hidup dan Gaji yang Lebih Tinggi

Selain faktor birokrasi, kelayakan hidup dan gaji yang lebih tinggi juga menjadi pertimbangan penting. Di Indonesia, dosen maupun peneliti, meskipun berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sering kali merasa bahwa gaji yang diterima tidak sebanding dengan tingkat pendidikan dan kualitas penelitian yang mereka hasilkan.

Gaji yang relatif rendah dan terbatasnya tunjangan atau fasilitas lainnya membuat banyak peneliti merasa tidak mendapat insentif yang cukup untuk tetap berkarir di Indonesia.

Selain itu, biaya hidup yang semakin tinggi di kota-kota besar, di mana banyak universitas dan lembaga penelitian berada, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong mereka untuk mencari peluang di luar negeri, di mana gaji dan tunjangan lebih menggiurkan.

Di luar negeri, banyak negara menawarkan peluang karir dengan gaji yang lebih tinggi serta fasilitas yang lebih baik untuk pengembangan karir akademik dan penelitian.

Misalnya, di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, atau negara-negara Eropa lainnya, dosen dan peneliti dapat memperoleh gaji yang lebih besar, akses lebih mudah ke sumber daya penelitian, serta kesempatan untuk berkolaborasi dengan berbagai lembaga dan universitas ternama.

Selain itu, pendanaan untuk penelitian di luar negeri jauh lebih memadai, dan mereka mendapatkan dukungan yang lebih baik dalam melaksanakan proyek-proyek inovatif.

Ketika dihadapkan dengan pilihan antara tetap di Indonesia dengan tantangan finansial dan administratif, atau bekerja di luar negeri dengan gaji yang lebih tinggi dan sistem yang lebih mendukung penelitian, banyak penerima beasiswa LPDP yang merasa bahwa pilihan kedua lebih menguntungkan bagi karir mereka.

Fenomena Brain Drain

Fenomena ini sejalan dengan “brain drain”, yaitu pergerakan para individu berkualitas tinggi, seperti ilmuwan, peneliti, dan profesional lainnya, dari negara asal mereka ke negara lain yang menawarkan lebih banyak kesempatan dan insentif.

Hal ini dapat merugikan Indonesia, karena negara kehilangan potensi besar yang seharusnya bisa digunakan untuk memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Meskipun kebijakan beasiswa LPDP memungkinkan penerima untuk memilih jalur karir internasional, penting bagi Indonesia untuk menciptakan kondisi yang lebih kondusif di dalam negeri agar para profesional ini tidak merasa terpaksa untuk mencari peluang di luar.

Kesimpulan

Kebijakan beasiswa LPDP yang memungkinkan penerimanya untuk tidak kembali ke Indonesia dan mengabdi dapat dilihat sebagai upaya untuk memberikan kebebasan dalam mengembangkan karir di luar negeri.

Namun, kebijakan ini berpotensi memicu fenomena brain drain, di mana individu-individu berkualitas tinggi yang seharusnya dapat berkontribusi untuk kemajuan Indonesia justru memilih untuk tinggal dan berkarir di luar negeri.

Faktor-faktor seperti birokrasi yang rumit, kurangnya insentif finansial, dan rendahnya dukungan terhadap riset dan inovasi di dalam negeri menjadi pendorong utama bagi keputusan ini.

Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena brain drain, Indonesia perlu memperbaiki sistem pendidikan, penelitian, dan kebijakan yang ada agar para penerima beasiswa LPDP merasa lebih termotivasi untuk berkontribusi dalam negeri.

Dengan menciptakan kondisi yang lebih mendukung di Indonesia, potensi besar yang dimiliki para profesional ini dapat dimanfaatkan untuk memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi negara. (Red)

*) Ahmad Alifiansyah Al Aziz, mahasiswa Vokasi Universitas Airlangga

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo