suaramuda

Ketika Ketua PBNU Berbicara Komunisme dan Civil Society

Ketua PBNU H Ulil Abshar Abdalla saat menjadi narasumber di Muktamar Ilmu Pengetahuan ke 2. Sabtu, 7/12/2024

Surakarta, SUARAMUDA
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jawa Tengah sukses menyelenggarakan Muktamar Ilmu Pengetahuan ke-2 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada Sabtu-Minggu, 7-8 Desember 2024.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini menghadirkan sejumlah narasumber ternama, salah satunya adalah Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla, yang akrab disapa Gus Ulil.

Dalam sesi plenary bertajuk “Menengok Kembali Basis Epistemologi NU sebagai Civil Society”, Gus Ulil mengulas perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai elemen masyarakat sipil (civil society).

Ia menghubungkan konsep ini dengan pengalaman sejarah serta relevansinya di era modern.

“Pada 1980-an, teori civil society dimaknai sebagai kekuatan yang, jika tidak melawan pemerintah, setidaknya menjadi oposisi atau penyeimbang kekuasaan. Pengalaman Eropa Timur, seperti perlawanan terhadap rezim komunis di Polandia dan Cekoslovakia, menjadi inspirasi besar bagi aktivis di Indonesia saat itu, termasuk aktivis NU,” ungkap Gus Ulil.

Ia juga menyebut nama Václav Havel, tokoh oposisi pemerintahan komunis di Cekoslovakia yang kemudian menjadi presiden. Havel menulis buku The Power of the Powerless, yang menjadi bacaan wajib aktivis di Indonesia, termasuk Gus Ulil sendiri.

Civil Society dan Konteks NU di Indonesia
Gus Ulil menyoroti bagaimana teori civil society digunakan sebagai alat untuk melawan otoritarianisme, termasuk di era Orde Baru. Konsep ini juga relevan dengan perjuangan melawan kolonialisme di masa lampau.

Para narasumber dalam Muktamar Ilmu Pengetahuan ke 2 Tahun 2024

“Pada masa kolonial, komunisme menarik perhatian banyak tokoh Islam, seperti Kiai Misbah dari Solo. Bahkan, pemberontakan PKI tahun 1926 melibatkan beberapa ustaz dan tokoh Islam di Sumatera Barat. Bukan karena komunisme sesuai dengan kepercayaan agama mereka, tetapi karena ia menjadi alat teoritik yang dibutuhkan untuk melawan penjajahan,” jelas Gus Ulil, yang juga menantu KH Mustofa Bisri (Gus Mus).

Ia menambahkan bahwa civil society pada dasarnya adalah konsep dinamis yang digunakan sesuai konteks zamannya.

“Pada 1980-an, teori ini memberikan justifikasi bagi aktivis untuk melawan Orde Baru, sebagaimana komunisme menjadi teori perlawanan melawan kolonialisme pada 1920-an,” tandasnya.

Muktamar sebagai Ajang Refleksi
Muktamar Ilmu Pengetahuan ke-2 ini tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga momentum refleksi untuk menggali kembali peran NU sebagai kekuatan civil society dalam menghadapi tantangan zaman.

Ketua Lakpesdam NU Jawa Tengah, M Zainal Anwar, menekankan bahwa kehadiran para narasumber ini diharapkan mampu memberikan wawasan mendalam tentang potensi dan tantangan NU di era saat ini.

“Kami ingin acara ini menjadi pendorong lahirnya ide-ide besar yang relevan dalam menjawab tantangan zaman mendatang. Juga untuk menyelaraskan gerak dari Lakpesdam di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Tengah,” ujar Zainal Anwar.

Perhelatan Muktamar Ilmu Pengetahuan ke-2 tahun 2024 menghadirkan sejumlah tokoh ternama sebagai narasumber, di antaranya adalah Wakil Menteri Agama RI KH Romo Muhammad Syafi’i, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU H Mohamad Syafi’ Alielha, Majelis Masyayikh PP Bumi Cendekia KH M Imam Aziz dan Yayasan LKIS KH Hairus Salim serta dimoderatori oleh Ali Formen dari Universitas Negeri Semarang (UNNES).

suaramuda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo