promo

Paradigma Marx dan Fenomena Kenaikan Pajak (PPN) di Indonesia

Oleh: Jeremy Nicholas*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Masyarakat kembali digemparkan dengan berita kenaikan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN), yang semula 11% menjadi 12%, atau bisa dibilang mengalami kenaikan sebesar 1%. Kenaikan tersebut akan mulai berlaku pada bulan Januari 2025.

Wacana kenaikan pajak kemudian memunculkan beragam tanggapan dari kalangan masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa kenaikan tersebut merugikan, namun ada juga yang setuju agar pendapatan negara menjadi meningkat.

Menurut Undang-undang No 7 tahun 2021, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Promo

Pajak sendiri memiliki banyak jenis seperti pajak penjualan barang mewah (PPnBM), pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan lain lainnya.

Pajak pertambahan nilai (PPN) sendiri adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Analogi dari pajak ini adalah seperti “tips” yang harus dibayarkan setiap kali kita membeli barang atau jasa.

Bedanya, tips (pajak) ini bukan untuk pelayan atau toko, melainkan untuk negara. Dari analogi di atas, sudah terlihat bahwa pajak ini menaikan harga Ketika membeli barang maupun jasa.

Dampak Kenaikan

Namun, bagaimana dampaknya jika diterapkan dengan skala nasional? Setidaknya ada tiga dampak utama yang dapat dikemukakan. Pertama, naiknya harga atas barang maupun jasa yang pada akhirnya akan berdampak kepada masyarakat.

Barang tentu, naiknya harga barang maupun jasa akan menurunkan daya beli masyarakat terutama di kalangan bawah. Hal ini terjadi karena masyarakat kalangan bawah akan semakin berpikir untuk membeli sebuah barang/ jasa.

Dalam jangka panjang, penurunan daya beli ini dapat memengaruhi stabilitas ekonomi, karena konsumsi rumah tangga adalah salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, masyarakat dengan penghasilan rendah mungkin terpaksa mengurangi pengeluaran pada transportasi, pendidikan, atau kebutuhan penunjang lainnya yang akan mengurangi kualitas hidup mereka.

Kedua, dampak domino dari turunnya pengeluaran rumah tangga tersebut adalah berubahnya peredaran uang di masyarakat.

Peredaran uang akan didominasi kalangan kelas atas yang memiliki daya beli yang lebih besar dibandingkan kalangan bawah. Kalangan atas akan lebih mudah menerima kenaikan pajak sebesar satu persen jika dibandingkan kenaikan pendapatan atau tabungan mereka.

Hal ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, karena kalangan bawah semakin kesulitan untuk menyisihkan penghasilan untuk kebutuhan di luar pokok.

Akibatnya, mobilitas sosial menjadi lebih sulit dicapai, yang berpotensi menghambat pemerataan kesejahteraan di masyarakat.

Ketiga, kenaikan inflasi. Menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dapat memicu peningkatan inflasi di dalam negeri.

Kenaikan PPN meningkatkan biaya produksi dan distribusi barang serta jasa yang menjadi objek pajak. Biaya tambahan ini biasanya dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.

Maka ketika harga barang dan jasa secara umum naik akibat kenaikan PPN, hal ini memengaruhi Indeks Harga Konsumen (IHK), yang merupakan indikator utama inflasi.

Dampaknya lebih terasa jika kenaikan PPN berlaku pada barang/ jasa yang memiliki permintaan tinggi di pasar. Karena peningkatan harga pada komoditas ini mendorong kenaikan inflasi secara keseluruhan.

PandangannKarl Marx

Seorang filsuf, ekonom, dan teoretikus politik asal Jerman—yang dikenal sebagai pencetus teori Marxisme—Karl Marx berpendapat bahwa sistem ekonomi kapitalis memang cenderung mempertahankan dominasi kelas atas (borjuis).

Ia memanfaatkan struktur ekonomi dan politik untuk menjaga kekuasaan mereka atas kelas pekerja (proletar).

Dalam hal ini, kebijakan seperti kenaikan PPN dapat dilihat sebagai instrumen yang digunakan oleh elite untuk memanipulasi sistem pajak demi kepentingan mereka.

Kenaikan PPN tidak hanya menaikkan harga barang dan jasa, tetapi juga berpotensi mengurangi daya beli masyarakat kelas bawah yang sebagian besar bergantung pada pengeluaran konsumen untuk bertahan hidup.

Dengan demikian, inflasi yang dipicu oleh kenaikan PPN dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana kelas bawah terjebak dalam kondisi yang semakin sulit. Sementara, kelas atas semakin menguatkan posisi ekonominya.

Dalam perspektif Marxis, kebijakan ini berfungsi untuk memastikan bahwa kekayaan tetap terakumulasi di tangan segelintir orang.

Sedangkan kelas bawah terpaksa menanggung beban ekonomi yang semakin berat, yang memperkuat struktur kelas yang ada dan mempertahankan ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Kesimpulannya, kenaikan PPN yang direncanakan dapat berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas bawah, yang berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.

Marxis melihat, kebijakan ini dapat dibaca sebagai upaya elite untuk mempertahankan dominasi ekonomi mereka, s. ementara kelas bawah semakin terbebani.

Secara keseluruhan, kebijakan ini berpotensi memperkuat ketidaksetaraan, memperlambat mobilitas sosial, dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang lebih rendah. (Red)

*) Jeremy Nicholas, lahir di Kota Bandung, mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga
**) Isi, pesan dan pandangan penulis bukan mewakili suaramuda.net

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo