
SUARAMUDA, SEMARANG – Pidato Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka menuai sorotan publik di media sosial. Kali ini terkait penggunaan kata ‘para’.
“yang saya hormati, tokoh-tokoh, para-para tokoh agama, para-para kiai, para-para ibu nyai, yang hadir pada pagi hari ini.”
Sebuah potongan video pidato Wapres Gibran itu pun beredar di media sosial X. Diduga pidato itu dilakukan pada saat putra Joko Widodo itu memberikan sambutan dalam acara Fatayat NU 2024.
Dalam video yang dibagikan oleh akun X @PUTRY_NUSANTARA, terekam Gibran Rakabuming mengenakan kemeja berwarna biru tua dan cokelat serta mengenakan peci hitam sedang berdiri untuk menyampaikan sambutan.
Memang terasa engga penting, ketika membicarakan potongan video yang di dalamnya terkandung kata “para”, oleh Wapres Gibran.
Tapi jika merujuk pada kamus KBBI, kata penyerta yang menyatakan pengacuan ke kelompok atau bisa berarti bermakna jamak “para” itu terasa geli, lucu dan bercampur.
Maka diperlukan penguasaan bahasa yang lebih baik, tertata dan ebak di dengar. Apalagi, Gibran adalah sosok figur pemerintah.
Pentingnya Penguasaan Bahasa Indonesia oleh Figur Publik
Ya, akhirnya fenomena itu bukan hanya menjadi bahan perbincangan, tetapi juga mengingatkan kita pada pentingnya penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang efektif, terutama oleh figur publik.
Muhardis dalam artikel opini yang telah tayang di Kompas, (19/12/2024) misalnya, mengingatkan kita akan pentingnya bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan dan identitas nasional.
Kesalahan berbahasa, terutama oleh tokoh-tokoh negara, justru dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap kredibilitas mereka.
Dalam kasus ini, penggunaan bentuk pengulangan yang tidak lazim seperti “para-para”, misalnya oleh Giran, menunjukkan pentingnya pemahaman tata bahasa agar pesan dapat tersampaikan dengan tepat tanpa menimbulkan kesan keliru.
Untuk diketahui, ketika seseorang berbicara di hadapan publik, khususnya tokoh nasional, diksi dan struktur kalimat sangat memengaruhi pemahaman audiens.
Jadi, kesalahan kecil saja dapat mengaburkan pesan utama. Dan kata “para-para” yang seringkali diucapkan Wapres Gibran Rakabuming menambah deret problem tersebut. Semoga tak berulang dalam sambutan berikutnya. (Red)