promo

Kenaikan PPN 2025: Untuk Rakyat atau Beban Rakyat?

Menteri Keuangan Sri Mulyani/ sumber: pinterest

Oleh: Jeremy Nicholas*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Indonesia kembali digemparkan dengan berita kontroversi, mengenai kenaikan pajak yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Fenomena ini menuai banyak kritik dan juga dukungan dari banyak kalangan—mulai dari penjabat tinggi seperti menteri keuangan hingga masyarakat kecil.

Kasus kenaikan pajak seringkali dicap sebagi alat yang ditunganggi kepentingan politik tertentu. Dalam konteks ini, kenaikan pajak yang dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak tersebut naik 1 persen, dari semula 11 persen meningkat menjadi 12 persen.

Ditelisik lebih jauh, kenaikan PPN itu memang tak terlihat besar, namun siapa sangka kenaikan yang asli sebenarnya mencapai angka 9 persen. Untuk kita lebih memahami kenaikan harga yang asli, mari kita bermain dengan perhitungan yang sederhana.

Promo

Apabila suatu barang seharga Rp100 ribu dikenakan pajak sebesar 11 persen, maka pajak yang harus dibayarkan adalah Rp11 ribu. Jika tarif pajak meningkat menjadi 12 persen, pajak yang harus dibayarkan menjadi Rp12 ribu.

Dengan demikian, terdapat kenaikan sebesar Rp1 ribu. Secara total, peningkatan harga hanya sebesar Rp1 ribu atau setara dengan 1 persen dari total harga barang.

Namun, yang sebenarnya mengalami perubahan adalah tarif pajaknya, sementara harga barang tetaplah sama. Oleh karena itu, perhitungan perubahan ini sebaiknya difokuskan pada pajaknya.

Untuk menghitung persentase kenaikan pajak tersebut, dapat digunakan rumus berikut: Rp1 ribu (kenaikan pajak) dibagi Rp11 ribu (pajak awal), kemudian dikalikan 100 persen. Hasilnya adalah sekitar 9,09 persen, yang dapat dibulatkan menjadi 9 persen.

Promo

Produk yang kena pajak

Sekarang kita sudah mengerti kenaikan beban pajak asli yang akan dirasakan oleh masyarakat, selanjutnya kita akan membahas mengenai beberapa barang-barang pokok yang terkena pajak tersebut.

Pertama, Minyak goreng. Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada tahun 2023 rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi minyak goreng sebesar 9,56 kilogram per kapita pertahun.

Data tersebut menunjukan bahwa pemakaian minyak masih menjadi bahan pokok utama yang dibutuhkan masyarat dan pemerintah telah memutuskan untuk menetapkan minyak sebagai objek pajak baru.

Akan tetapi, terdapat satu merek yang akan dikecualikan dari kebijakan ini, yaitu “Minyak Kita”. Produk Minyak Kita sendiri merupakan produk yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menganggulangi kenaikan harga beberapa waktu lalu.

Kedua, smartphone. Pemerintah lagi-lagi memutuskan bahwa smartphone menjadi objek terkena pajak. Sedangkan smartphone di jaman sekarang telah menjadi sebuah kebutuhan utama untuk berkomunikasi.

Lebih lanjut, smartphone menjadi alat utama untuk banyak orang melakukan pekerjaanya seperti ojek online. Selain itu, smartphone juga digunakan untuk mengakses layanan penting, seperti perbankan dan pendidikan daring.

Bahkan, smartphone bagi sebagian besar masyarakat merupakan perangkat yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari.

Setelah melihat dua contoh barang pokok yang akan menjadi objek, mari kita memakai sebuah konsep di dalam sosiologi, struktural fungsional.

Pendekatan struktural fungsional

Struktural fungsional merupakan sudut pandang yang menekankan keseimbangan di dalam masyarakat dan bersifat netral. Sudut pandang ini memandang setiap fenomena memiliki fungsi bagi seluruh bagian dari masyarakat.

Dari sudut pandang struktural fungsional, kebijakan kenaikan pajak tersebut bisa menjadi langkah yang baru untuk memiliki fungsi di masyarakat.

Entah fungsi itu bersifat negatif maupun positif, yang ditekankan merupakan fungsinya. fungsi pertama merupakan meningkatnya solidaritas masyarakat.

Dan berita kenaikan tersebut memperoleh kecaman dari banyak pihak karena dianggap merugikan mereka. Namun dalam konteks ini kebijakan tersebut mempererat hubungan dari seluruh masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang. Masyarakat menjadi satu untuk protes mengenai wacana kenaikan pajak tersebut.

Fungsi kedua yaitu naiknya penerimaan negara. Mekipun mendapatkan banyak kecaman, kenaikan pajak jelas akan menghasilkan pertambahan nilai keuangan bagi negara.

Peningkatan ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan sosial. Selain itu, tambahan pemasukan negara juga berpotensi memperkuat stabilitas ekonomi di tengah tantangan global.

Kesimpulannya, kenaikan pajak yang direncanakan pemerintah—meskipun sederhana dari segi persentase—menimbulkan berbagai dampak dan reaksi di masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat dari 11 persen menjadi 12 persen menunjukkan adanya kenaikan signifikan pada beban pajak, yang memengaruhi kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan smartphone.

Hal ini memicu respons yang beragam, baik dukungan maupun kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan memahami dampak dan fungsi kenaikan pajak ini secara lebih mendalam, masyarakat dapat menilai kebijakan tersebut secara lebih objektif.

Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan masukan publik untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar memberikan manfaat yang adil dan merata bagi seluruh elemen masyarakat. Bukan sebalinya: “ngeyel”! (Red)

*) Jeremy Nicholas, lahir di Kota Bandung, mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo