
SUARAMUDA, SEMARANG — Kota-kota besar kini telah menjadi pusat kemajuan, bahkan menarik perhatian jutaan orang dari berbagai wilayah dan negara. Mereka datang untuk mengejar impian, mencari peluang kerja, dan meningkatkan kualitas hidup.
Ada banyak hal di daerah perkotaan, dan tentunya tidak dimiliki oleh daerah pedesaan, seperti pendidikan berkualitas, fasilitas kesehatan canggih, peluang karir yang lebih baik, dan akses terhadap beragam hiburan dan kehidupan sosial.
Namun di balik hiruk pikuk kota, ada sisi gelap yang semakin terlihat jelas dan itu tak urung bakal berdampak terhadap kesehatan mental. Gemerlap kehidupan kota memiliki banyak manfaat, justru menyisakan stres tak terkira, mengancam kesehatan mental kita.
Keinginan untuk tinggal di kota besar seringkali didasari oleh keyakinan bahwa kota adalah tempat yang penuh dengan peluang. Namun kenyataannya, tekanan kehidupan yang serba cepat, polusi, kebisingan, dan terbatasnya ruang hijau meningkatkan tekanan psikologis bagi banyak orang.
Karena sifat kehidupan yang dinamis, orang sering kali merasa terisolasi dan tidak memiliki cukup waktu untuk diri sendiri atau hubungan sosial yang mendalam.
Ketegangan sosial, kesulitan mencari waktu untuk bersantai, dan perasaan terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang melelahkan merupakan kenyataan umum yang dialami banyak masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Mengingat pentingnya kesehatan mental terhadap kualitas hidup, penting untuk melihat lebih dalam bagaimana kehidupan perkotaan mempengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Dampak Isolasi Sosial
Salah satu dampak utama yang dihadapi masyarakat perkotaan adalah isolasi sosial. Di tengah hiruk pikuk kota yang dipenuhi ribuan penduduk, banyak warga yang merasa terisolasi dan sendirian.
Fenomena ini dikenal sebagai “kesepian perkotaan”. Meskipun teknologi dan media sosial memudahkan kita untuk terhubung, terbatasnya interaksi tatap muka dan kurangnya keintiman emosional dengan orang-orang di sekitar sering kali meningkatkan perasaan kesepian. Jenis isolasi sosial ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan, bahkan meningkatkan risiko penyakit mental seperti depresi.
Patut diketahui, interaksi sosial pada masyarakat perkotaan lebih bersifat dangkal, dan masyarakat sering kali merasakan kehidupan di tengah keramaian tapi tidak memiliki koneksi nyata.
Sebuah penelitian yang dilakukan di London, Inggris menemukan bahwa satu dari tiga penduduk kota merasa kesepian meski dikelilingi ribuan orang. Hal ini semakin memperjelas bahwa meskipun jumlah penduduknya banyak, perasaan terisolasi dalam kehidupan kota sangatlah nyata.
Selain itu, polusi udara dan kebisingan adalah masalah besar yang dihadapi oleh banyak kota besar di dunia. Polusi udara tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental penduduk.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa polusi udara dapat menyebabkan peradangan di otak yang berhubungan langsung dengan gangguan kecemasan, stres, dan depresi.
Jakarta misalnya, memiliki polusi udara yang cukup parah—yang sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor, pabrik, dan aktivitas industri. Paparan polusi ini juga dapat merusak sistem saraf, memperburuk gangguan mental, dan meningkatkan kadar hormon stres dalam tubuh.
Bahkan, sebuah studi yang diterbitkan di jurnal ‘Environmental Health Perspectives’ menyebutkan bahwa orang yang tinggal di kota-kota dengan tingkat polusi tinggi lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan gangguan tidur.
Namun, dampak polusi tidak hanya terbatas pada udara. Kebisingan juga merupakan salah satu masalah umum di kota-kota besar. Suara kendaraan yang bising, pekerjaan konstruksi yang tiada henti, dan kemacetan lalu lintas sering kali menjadi bagian dari keseharian penduduk kota.
Paparan terhadap kebisingan yang berlebihan ini telah terbukti meningkatkan kadar hormon stres, seperti kortisol, yang dapat mengganggu tidur dan memengaruhi suasana hati. Kebisingan yang berlangsung terus-menerus berisiko menyebabkan gangguan tidur, kecemasan, dan depresi.
Terbatasnya Ruang Hijau
Parahnya lagi, ruang terbuka hijau di kota-kota besar nampak minim. Padahal, ruang hijau memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga kesehatan mental penduduk kota. Taman kota, hutan kota, dan ruang hijau lainnya memberi kesempatan bagi individu untuk bersantai, berolahraga, dan menghubungkan diri dengan alam.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di luar ruangan dapat mengurangi tingkat stres, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan kualitas tidur. Namun, banyak kota besar yang memiliki ruang terbuka hijau yang terbatas, sehingga penduduk kota sering kali kesulitan untuk menemukan tempat yang tenang untuk beristirahat.
Lagi-lagi, Jakarta—yang merupakan salah satu kota terbesar di Asia Tenggara—bahkan hanya memiliki ruang terbuka hijau yang sangat terbatas, terutama di area pusat kota. Hal ini mempersulit warga untuk menemukan tempat yang dapat membantu mereka mengurangi stres dan kembali tenang setelah seharian beraktivitas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut bahwa persentase ruang terbuka hijau di Jakarta sangat rendah, yaitu hanya sekitar 9 persen dari total luas kota, meski idealnya mencapai 30 persen. Kurangnya ruang hijau ini tidak hanya menurunkan kualitas hidup, tetapi juga kesehatan mental penghuninya.
Hidup Kompetitif
Gaya hidup yang kompetitif dan serba cepat di kota-kota besar dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Tekanan untuk berhasil dalam pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sosial adalah bagian dari kehidupan sehari-hari banyak penduduk kota.
Persaingan yang ketat dan standar hidup yang tinggi menimbulkan kecemasan dan stres bagi banyak orang. Ketika orang tidak mampu memenuhi harapan yang ada, mereka sering kali merasa frustrasi dan mengalami rendah diri.
Jika perasaan ini tidak ditangani dengan baik, dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi dan kecemasan sosial.
Di Jakarta, misalnya, tekanan untuk bekerja keras dalam dunia yang kompetitif sering kali menimbulkan tingkat stres yang tinggi, terutama di kalangan pekerja muda yang baru memulai karir.
Kombinasi antara kehidupan profesional yang sibuk dan kehidupan pribadi yang menuntut membuat banyak orang sulit untuk menyeimbangkan keduanya, yang pada akhirnya menyebabkan kesehatan mental yang buruk.
Penulis melihat, banyaknya tantangan yang dihadapi kota-kota besar terkait kesehatan mental dapat diminimalisir dengan solusi yang lebih baik. Salah satunya, pertama; yakni dengan menciptakan kota yang lebih baik memerlukan perencanaan kota yang lebih ramah kesehatan mental.
Misalnya, kota dapat menjadi tempat yang lebih baik bagi penduduknya dengan meningkatkan ruang hijau, mengurangi polusi udara dan suara, serta meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental.
Beberapa kota di Eropa—seperti Kopenhagen dan Amsterdam—-misalnya, menjadi lebih hijau dan lebih ramah terhadap kesehatan mental dengan menawarkan lebih banyak taman dan ruang hijau serta mengurangi polusi melalui transportasi umum yang lebih ramah lingkungan.
Yang kedua, dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan mengurangi stigma sosial yang sering menghalangi masyarakat untuk mencari bantuan juga merupakan langkah penting untuk menciptakan kota yang lebih sehat secara psikologis.
Kita bisa bersepakat, bahwa fenomena kota yang berfokus pada kesehatan fisik dan mental warganya akan membangun komunitas yang lebih bahagia, produktif, dan lebih mampu menghadapi tantangan kehidupan modern.
Terakhir, kesehatan mental harus menjadi bagian integral dari perencanaan kota. Selain memberikan peluang ekonomi dan fasilitas fisik, kota juga harus mendukung kesejahteraan mental penduduknya.
Maka, apabila bisa nenerapkan langkah yang tepat, kita dapat menciptakan kota-kota yang tidak hanya maju secara ekonomi namun juga sehat secara mental. Semua itu, tentu untuk menjadikan kehidupan perkotaan lebih berkelanjutan serta menyenangkan bagi semua orang. (Red)
*) Penulis: Archila Az-Zahra Komarudin, mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, email: [email protected]
**) Artikel ini ditulis dan disusun untuk kepentingan tugas kuliah