promo

Bersih-bersih Usai Pertandingan, Ini Makna Filosofi ‘Tatsu Tori Ato Wo Nigosazu’ bagi Suporter Jepang

Tangkapan layar media sosial X, FIFA.

Jakarta, SUARAMUDA
Seusai pertandingan Kualifikasi Piala Dunia antara Indonesia melawan Jepang, Jumat (15/11/2024) malam, ada pemandangan yang unik di Stadion.

Pendukung tim nasional Jepang, Samurai Biru, tidak segera meninggalkan tribun. Sebaliknya, mereka justru sibuk membersihkan sampah di area tempat duduk mereka.

Dengan kantong plastik biru, mereka mengumpulkan berbagai jenis sampah, lalu menaruhnya di satu titik dekat pintu keluar stadion.

Tindakan ini bukanlah hal baru bagi suporter Jepang. Kebiasaan membersihkan stadion sudah menjadi ciri khas yang melekat dalam diri mereka, bahkan saat hasil pertandingan tidak memuaskan.

Kebiasaan yang Konsisten di Ajang Internasional
Pada Piala Dunia 2014 di Brasil, meski tim nasional Jepang kalah 2-1 dari Pantai Gading, para suporter tetap memunguti sampah di Stadion Arena Pernambuco.

Hal serupa mereka lakukan di Piala Dunia 2018 di Rusia setelah Jepang kalah dari Belgia di babak 16 besar. Bahkan, aksi yang sama kembali terjadi pada Piala Dunia 2022 di Qatar, yang mengundang apresiasi dari FIFA.

“Baik menang atau kalah, selalu ada rasa hormat. Terima kasih sudah membantu #menyelamatkanplanet, suporter Jepang,” tulis FIFA di akun X resminya (27/11/2022).

Tidak hanya para suporter, para pemain tim nasional Jepang juga menunjukkan teladan yang sama. Setelah mengalahkan Jerman 2-1 pada Piala Dunia 2024, mereka meninggalkan ruang ganti dalam keadaan rapi, dengan handuk terlipat dan tidak ada sisa sampah.

Bahkan, mereka menyisakan 11 origami burung bangau yang melambangkan setiap pemain dalam tim.

Budaya Kebersihan yang Mendalam
Bagi masyarakat Jepang, tindakan membersihkan stadion setelah pertandingan bukan sekadar formalitas atau pencitraan, melainkan bagian dari nilai yang sudah ditanamkan sejak dini.

Menurut Maiko Awane, Asisten Direktur Kantor Pemerintah Provinsi Hiroshima di Tokyo, kegiatan bersih-bersih menjadi rutinitas harian yang diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Masafumi Monden, seorang dosen Studi Jepang di University of Sydney, mengungkapkan bahwa di Jepang, anak-anak diajarkan menjaga kebersihan sebagai bagian dari pelajaran hidup.

Mereka mengenal pepatah “tatsu tori ato wo nigosazu” yang berarti “burung yang terbang tidak meninggalkan jejak kotor.” Pepatah ini mengajarkan bahwa seseorang harus meninggalkan tempat yang dikunjunginya setidaknya sebersih ketika pertama kali ditemukan.

Akar Kebersihan Dalam Nilai Kepercayaan
Kebersihan masyarakat Jepang tak lepas dari pengaruh ajaran agama Buddha dan Shinto, dua kepercayaan utama di negara tersebut.

Dalam agama Shinto, kebersihan adalah salah satu prinsip dasar dan dipandang sebagai tindakan yang saleh. Konsep kegare atau ketidakmurnian, seperti kematian dan penyakit, dianggap sebagai sesuatu yang perlu dihindari untuk menjaga keselamatan bersama.

Menurut Noriaki Ikeda, asisten pendeta Shinto di Kuil Kanda Hiroshima, menjaga kebersihan merupakan upaya untuk menyucikan diri dan menghindari bencana.

“Jika seseorang terkena kegare, itu bisa membahayakan masyarakat umum. Jadi, sangat penting untuk mempraktikkan kebersihan. Hal ini akan menyucikan kita dan membantu menghindari bencana. Itulah mengapa Jepang adalah negara yang sangat bersih,” jelasnya.

Tradisi bersih-bersih ini, meski sederhana, menjadi contoh nyata bagi dunia bahwa budaya dan nilai yang baik bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengumpulkan sampah setelah pertandingan sepak bola.

Hal ini membuktikan bahwa kebersihan tidak hanya soal fisik, tapi juga cerminan dari jiwa yang teratur dan penuh hormat terhadap lingkungan.

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo