suaramuda

Menjadi ‘Manusia’ di Era Kecerdasan Buatan

Ilustrasi AI/ sumber: pinterest

Oleh: Fidelis Roy Maleng*)

SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Kecerdasan buatan (AI) telah mengubah dunia kita dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Dari pengembangan sistem rekomendasi hingga kendaraan otonom dan algoritma yang dapat mendeteksi penyakit dengan akurasi luar biasa, AI telah memperkenalkan dimensi baru dalam kehidupan kita.

Namun, di balik potensi revolusioner ini, muncul tantangan besar: bagaimana kita bisa tetap menjadi manusia di tengah kecanggihan teknologi yang semakin berkembang?

suaramuda

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi ini, kita perlu menggali lebih dalam tentang dampaknya terhadap identitas kita, pekerjaan kita, dan etika yang mengaturnya.

Menjadi manusia di era kecerdasan buatan bukan hanya soal bertahan hidup di dunia yang semakin otomatis, tetapi bagaimana kita mengintegrasikan teknologi ini tanpa kehilangan esensi kemanusiaan kita.

Mendefinisikan Ulang Peran Manusia dalam Dunia yang Terotomatisasi

Kecerdasan buatan telah membuktikan kemampuannya untuk melampaui manusia dalam berbagai tugas yang sifatnya repetitif dan berbasis data.

Dengan kemampuan untuk menganalisis miliaran data dalam waktu singkat, AI telah mengubah banyak sektor industri, dari manufaktur hingga keuangan dan bahkan pelayanan publik.

Sebuah laporan oleh McKinsey Global Institute (2017) memperkirakan bahwa sekitar 30% pekerjaan di dunia bisa otomatisasi pada tahun 2030, sebuah perubahan yang jelas menimbulkan kekhawatiran tentang nasib tenaga kerja manusia.

Banyak pekerjaan rutin yang selama ini menjadi lahan pencaharian utama bagi banyak orang kini berada dalam ancaman penggantian oleh mesin.

Namun, meskipun kecerdasan buatan bisa menggantikan pekerjaan yang mengandalkan tugas-tugas mekanis, manusia tetap memiliki nilai dan peran yang unik dalam berbagai bidang, khususnya dalam hal keputusan etis, kreativitas, dan kemampuan untuk merasakan empati.

Max Tegmark, dalam bukunya Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence (2017), menekankan bahwa meskipun kecerdasan buatan dapat melampaui manusia dalam banyak hal, ada kapasitas yang tidak bisa digantikan oleh mesin.

“Manusia memiliki kapasitas untuk merasakan, berkreasi, berimajinasi, dan membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang bersifat etis dan sosial” (Tegmark, 2017: 15).

Pernyataan ini menggugah kita untuk melihat kecerdasan buatan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai mitra yang bisa membantu kita berkembang lebih jauh.

Meski kita hidup di dunia yang semakin dikelilingi oleh teknologi, identitas kemanusiaan kita tetap akan ditentukan oleh kemampuan kita untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.

Filsuf Martha Nussbaum dalam konsep “kemampuan dasar” (2000) menekankan bahwa kemampuan manusia untuk berpikir kritis, merumuskan keputusan moral, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial adalah nilai-nilai inti yang harus dijaga.

Kreativitas, keadilan, kebebasan, dan kapasitas untuk memilih bukanlah hal yang bisa diprogramkan dalam mesin—itu adalah ranah manusia.

Kolaborasi Manusia dan Mesin: Menghadapi Tantangan Ekonomi dan Pekerjaan

Meskipun perkembangan AI bisa menghilangkan banyak pekerjaan manual dan rutin, teknologi ini juga membuka peluang baru bagi manusia untuk berkolaborasi dengan mesin, menghasilkan karya dan inovasi yang tidak dapat dilakukan oleh manusia atau mesin sendiri.

Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2016), mengemukakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi bukanlah pekerjaan yang digantikan oleh mesin.

Akan tetapi bagaimana kita sebagai manusia dapat berkolaborasi dengan kecerdasan buatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih inklusif.

Harari menegaskan bahwa di masa depan, manusia dan mesin bisa bekerja bersama untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelesaikan masalah global, seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan penyakit menular (Harari, 2016: 322).

Pendapat ini sejalan dengan pandangan Max Tegmark, yang juga melihat potensi besar dalam kolaborasi antara manusia dan AI.

Tegmark berpendapat bahwa meskipun AI dapat melampaui kita dalam beberapa tugas, kita tetap memiliki keunggulan dalam hal pemecahan masalah kreatif dan pengambilan keputusan yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan.

AI dapat membantu meningkatkan efisiensi, menganalisis data besar, dan menawarkan solusi baru untuk masalah yang kompleks, tetapi keputusan akhir tetap harus melibatkan manusia yang mampu mempertimbangkan aspek etis dan sosial.

Tegmark mengutip contoh dalam dunia medis, di mana AI dapat membantu mendiagnosis penyakit lebih cepat dan lebih tepat daripada manusia.

Tetapi keputusan tentang pengobatan atau perawatan tetap membutuhkan pertimbangan manusia yang melibatkan perasaan, konteks sosial pasien, dan nilai-nilai moral yang tidak bisa dipahami oleh mesin (Tegmark, 2017: 189).

Kolaborasi ini menciptakan dunia yang lebih baik di mana manusia berfokus pada aspek yang memerlukan kreativitas, empati, dan pemahaman sosial, sementara AI menangani tugas-tugas teknis yang membutuhkan kemampuan pemrosesan data yang besar.

Untuk mencapai potensi kolaborasi ini, kita harus mempersiapkan diri dengan baik untuk tantangan pekerjaan yang muncul akibat otomatisasi.

Carl Benedikt Frey dan Michael A. Osborne dalam penelitian mereka tentang dampak AI terhadap pekerjaan di masa depan, memperingatkan bahwa kita akan menghadapi dua tantangan besar: pertama, transisi tenaga kerja yang besar menuju pekerjaan baru, dan kedua, pentingnya pelatihan ulang (re-skilling) bagi pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan mereka (Frey & Osborne, 2013: 25).

Oleh karena itu, tantangan utama kita adalah bukan sekadar menciptakan teknologi, tetapi bagaimana kita mendampingi transisi sosial ini dengan kebijakan yang mendukung kesejahteraan bersama.

Menghadapi Isu Etika: Menjaga Nilai-Nilai Manusia dalam Penggunaan AI

Selain tantangan ekonomi dan sosial, AI juga memunculkan pertanyaan etis yang harus kita jawab dengan bijak. Ketika mesin mengambil keputusan yang sebelumnya dibuat oleh manusia, kita dihadapkan pada pertanyaan mendalam tentang siapa yang bertanggung jawab ketika AI melakukan kesalahan.

Atau bagaimana kita memastikan bahwa AI digunakan secara adil dan tidak memperburuk ketidaksetaraan sosial yang adaada.

Helen Nissenbaum, dalam bukunya Privacy in Context (2010), menekankan pentingnya privasi dan transparansi dalam penggunaan data yang digunakan oleh AI. Nissenbaum mengingatkan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, di mana data pribadi menjadi sangat bernilai, kita harus berhati-hati agar AI tidak disalahgunakan untuk mengeksploitasi individu atau kelompok tertentu (Nissenbaum, 2010: 12).

AI yang tidak terkelola dengan baik bisa memperburuk diskriminasi dan ketidakadilan, seperti yang telah terbukti dengan algoritma pengambilan keputusan yang bias, yang sering kali memperburuk ketidaksetaraan rasial dan sosial.

Max Tegmark juga menekankan pentingnya pengembangan AI yang berorientasi pada nilai-nilai moral dan etika. Menurut Tegmark, kita harus menciptakan aturan dan kebijakan yang mengatur bagaimana AI digunakan, mengingat dampaknya yang bisa sangat besar terhadap kehidupan kita.

Jika tidak, AI bisa memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada (Tegmark, 2017: 230). Filsuf Langdon Winner dalam The Whale and the Reactor (1986) juga berpendapat bahwa teknologi selalu terikat dengan kekuasaan.

Oleh karena itu, keputusan tentang siapa yang mengembangkan dan menggunakan teknologi ini sangat penting, karena dapat memperbesar ketimpangan yang ada di masyarakat (Winner, 1986: 19).

Untuk itu, kita sebagai manusia harus mengembangkan kerangka kerja etis dan regulasi yang kuat untuk memastikan bahwa perkembangan AI dilakukan dengan cara yang adil dan tidak merugikan kelompok-kelompok tertentu.

Ini bukan hanya tentang melindungi individu dari penyalahgunaan data, tetapi juga tentang bagaimana memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan umat manusia secara keseluruhan (Bonum Commune), tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan yang kita pegang teguh.

Kesimpulan: Menjaga Kemanusiaan di Era Kecerdasan Buatan

Menjadi manusia di era kecerdasan buatan berarti mempertahankan esensi kemanusiaan kita, seperti kreativitas, empati, kebebasan, dan pengambilan keputusan etis, dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi.

AI menawarkan peluang yang sangat besar, tetapi kita harus berhati-hati agar tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusian. Seperti yang ditekankan oleh Max Tegmark, meskipun kecerdasan buatan dapat melampaui manusia dalam banyak hal, keunggulan kita tetap terletak pada kemampuan untuk berimajinasi, membuat keputusan moral, dan merasakan emosi.

Di dunia yang semakin otomatis, kita harus memastikan bahwa manusia tetap menjadi pusat dari segala inovasi. AI seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra yang dapat memperkaya kapasitas kita.

Kita harus terus belajar untuk berkolaborasi dengan teknologi, menggunakan kecerdasan buatan untuk meningkatkan kehidupan manusia, bukan menggantikan manusia.

Yuval Noah Harari menegaskan bahwa kita harus menghadapi era kecerdasan buatan ini dengan bijaksana, menjaga agar teknologi ini membawa manfaat bagi semua orang, dan bukan hanya segelintir pihak (Harari, 2016: 322).

Martha Nussbaum juga mengingatkan kita untuk tidak hanya fokus pada hasil teknis, tetapi pada bagaimana teknologi dapat digunakan untuk menjaga martabat manusia dan keadilan sosial.

Tantangan terbesar kita bukanlah tentang kecerdasan buatan itu sendiri, tetapi bagaimana kita mengelola transisi sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh kemajuan teknologi ini.

Kebijakan yang inklusif, pelatihan ulang bagi tenaga kerja yang terpengaruh, serta kerangka etis yang jelas untuk penggunaan AI akan sangat menentukan apakah kita dapat menciptakan masa depan yang adil dan berkelanjutan.

AI harus digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, bukan untuk memperburuk ketidaksetaraan sosial.Pada akhirnya, masa depan kita bukanlah sesuatu yang harus kita takuti, tetapi peluang untuk mengembangkan diri lebih jauh sebagai individu dan masyarakat.

Dengan mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan kita dengan bijaksana dan bertanggung jawab, kita dapat memastikan bahwa kita tetap menjadi manusia yang utuh di era kecerdasan buatan—sebuah era yang bisa menjadi lebih baik dan lebih adil bagi seluruh umat manusia.

*) Fidelis Roy Maleng, tinggal di Ritapiret, Maumere, Nusa Tenggara Timur

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo