![Paradoks Pendidikan yang Membebaskan](https://suaramuda.net/wp-content/uploads/2025/01/IMG_20250129_074124.jpg)
Oleh: Didik T. Atmaja*)
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus yang berlangsung di Kazan, Rusia, telah berakhir. Namun pada saat berlangsung pada 22-24 Oktober 2024, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI) Sugiono turut hadir dalam konferensi organisasi internasional yang digawangi oleh Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan itu.
Di tengah-tengah pertemuan, Indonesia melalui Menlu Sugiono menyerahkan proposal keinginan menjadi anggota kepada Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, selaku tuan rumah pada KTT. Indonesia beralasan, menjadi bagian dari aliansi BRICS justru merupakan perwujudan sikap bebas aktif.
Pro dan Kontra
Namun lain halnya yang terjadi di dalam negeri. Pro dan kontra wacana Indonesia masuk anggota BRICS, kian ramai. Sebagian kelompok pengkritik, wacana Indonesia menjadi anggota BRICS sebagai keputusan yang tidak tepat.
Sebab, masuknya Indonesia dalam aliansi itu justru tak sejalan dengan kebijakan luar negeri “bebas dan aktif.” Indonesia dikhawatirkan akan terjerumus dan terbawa arus oleh kebijakan-kebijakan negara anggota yang umumnya anti-Blok Barat, terutama China dan Rusia. Dengan demikian, posisi Indonesia yang “netral” dalam percaturan global bisa terancam.
Sedangkan bagi kelompok lainnya yang mendukung keanggotaan BRICS, masuknya Indonesia di BRICS justru sebagai langkah strategis. Kelompok ini juga menilai, wacana keanggotaan Indonesia di BRICS yang disebut bisa merusak netralitas Indonesia di tataran global justru tidak masuk akal.
“Indonesia patut memanfaatkan betul peluang jadi anggota BRICS tanpa mengurangi poin politik bebas aktif di mata dunia internasional”
Apalagi tak ada upaya Indonesia untuk menyudahi hubungan-hubungannya dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat. Toh, hingga saat ini Indonesia juga masih terus berupaya menjadi anggota Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD).
Langkah Indonesia menjadi bagian dari BRICS di awal pemerintahan Prabowo Subianto adalah pilihan rasional dalam membangun keberlangsungan diplomasi Indonesia di kancah global. Selain itu, ada juga harapan adanya kepentingan ekonomi Indonesia dengan negara-negara anggota di masa mendatang.
Pilihan Rasional
Jon Elster dalam bukunya “Rational Choice” (1986) mengasumsikan pilihan rational sebagai teori normatif. “Menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan sebaik mungkin, tidak menjelaskan apa tujuan dari tujuan tersebut”. Dalam konteks ini, rational choice menjadi varian dari pendekatan behavioral namun berkembang dari logika rasionalitas ekonomi.
Aramadhan D Hatta (2019) dalam artikelnya juga menyebutkan, pilihan rational mengansumsikan bahwa seorang aktor memilih pilihan yang dia percaya akan membawa keuntungan lebih bagi dirinya. Pendekatan ini menekankan pada perilaku dan keputusan individu dan kelompok dalam membuat pilihan.
Pendekatan rasional menganggap bahwa individu dan kelompok memiliki tujuan dan preferensi yang jelas dan mereka membuat pilihan yang rasional untuk mencapai tujuan, yang dalam konteks wacana masuknya Indonesia ke dalam BRICS, Indonesia mendapat banyak opsi atas pilihan strategisnya, baik secara ekonomi maupun politik.
Penulis sependapat dengan pemikiran Ahmad Nurcholis dalam Kompas (26/10/2024) yang menyebut Indonesia tidak lagi akan terus menerus bergantung kepada Barat.
Sebaliknya, Indonesia justru mempunyai opsi kebijakan dan tidak condong ke dalam satu kekuatan tertentu. Indonesia juga bisa lebih fleksibel dalam memainkan daya tawarnya di antara masing-masing kekuatan untuk mendapatkan sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan nasionalnya.
Pilihan Indonesia bergabung dengan BRICS dapat menjadi opsi strategi alternatif dalam menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi dan politik global yang hingga saat ini dipimpin AS dan Barat. Indonesia juga bisa lepas dari pasar tradisional AS dan Eropa, serta memperluas jangkauan masuk ke pasar negara-negara koalisi BRICS, termasuk diantaranya Timur Tengah.
Perdebatan masuknya Indonesia ke dalam aliansi BRICS memang wajar terjadi, karena di tengah geopolitik global yang tak pasti ada kekhawatiran meredupnya hubungan Indonesia dengan AS dan juga negara-negara sekutunya di Eropa.
Oleh karenanya, Indonesia patut mempertegas posisinya sebagai negara yang konsisten dengan kebijakan luar negeri bebas aktif yang menjadi pegangan, sejak merdeka 1945.
Ke depan, Indonesia sangat perlu memelihara keseimbangan hubungan antara AS-Barat dan juga negara-negara anggota BRICS plus. Memang tak mudah sekonyong-konyong memilih masuk dalam keanggotaan BRICS, terlebih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Namun sebagai pilihan rasional, Indonesia patut memanfaatkan betul peluang itu tanpa mengurangi poin politik bebas aktif di mata dunia internasional.
*) Didik T. Atmaja, mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang, peneliti pada Sino-Nusantara Institute