
Oleh: Y.M.V. Trisunu H.W *)
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG — Krisis iklim telah melanda dunia belakangan ini. Hujan dan panas tidak sesuai jadwal yang biasaanya muncul. Petani, misalnya, dapat dipastikan kesulitan menentukan jadwal tanam. Cuaca yang tak stabil ini juga mengancam daya tahan tubuh sehingga rentan terserang virus flu dan lainnya.
Tanda – tanda alam semacam ini sebenarnya sudah dirasakan oleh masyarakat kita. Hanya saja, mereka kurang memahami cara terbaik untuk mencegah kondisi seperti ini. Benar adanya, perubahan iklim bersifat alamiah (faktor alam). Namun, aktivitas manusia juga mempunyai dampak besar pada perubahan iklim.
Efek rumah kaca sebenarnya banyak dari gas-gas ini terjadi secara alami, tapi berbagai aktivitas manusia turut meningkatkan konsentrasinya di atmosfer, khususnya pada metana, karbon dioksida (CO2), gas berfluorinasi CO2, dan dinitrogen oksida.
Semua itu adalah gas rumah kaca yang paling umum diproduksi oleh aktivitas manusia serta bertanggung jawab atas 64% pemanasan global buatan manusia. Faktor lainnya, seperti perbuatan manufaktur, dampak maraknya transportasi, penebangan hutan, hingga gaya hidup konsumtif yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.
Gaya hidup masyarakat ini pada akhirnya berpengaruh besar terhadap perubahan iklim. Berdasarkan riset, satu persen dari orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas polusi karbon dua kali lipat lebih banyak dari populasi dunia.
Mulai dari Ranah Pendidikan
Salah satu langkah strategis untuk mengatasi fenomena itu diantaranya dengan memberikan pemahaman kepada generasi muda sejak usia dini, baik melalui upaya edukasi, hingga transfer kesadaran yang diberikan dari para guru di sekolah dan juga orang tua di rumah.
Atas dasar inilah, Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan teknologi Republik Indonesia mengeluarkan Pendidikan Perubahan Iklim beberapa bulan yang lalu.
Panduan yang diawali dengan daftar istilah ini seolah-olah ingin bercerita kalau istilah ‘perubahan iklim’ masih dianggap asing atau tidak familiar di lingkungan pendidik. Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang pada suhu dan pola-pola cuaca di bumi.
Perubahan ini dapat terjadi secara alami; misalnya akibat letusan gunung berapi, aktivitas kejadian di sekitar kita, dampak dari krisis iklim matahari, dan sebagainya. Namun perubahan iklim yang terjadi sejak tahun 1800-an hingga saat ini agak berbeda–fenomena ini disebabkan oleh aktivitas manusia (IPCC,2021).
Faktor Manusia
Kata penting yang harus digaris bawahi adalah ‘perubahan iklim’ yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sadar atau tidak sadar iklim sangat mempengaruhi hidup dan mata pencaharian kita. Ada tiga efek rumah kaca utama yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Pertama, karbon dioksida (CO2) yang merupakan gas rumah kaca terbanyak, berasal dari pernafasan makhluk hidup, pembakaran bahan bakar fosil dan pembukaan hutan.
Kedua, Metana (CH4), yang terbentuk dari produksi gas alam dan minyak bumi, serta pembusukan sampah. Dan ketiga, Nitrogen oksida (N2O), berasal dari pabrik, pembangkit listrik, pupuk, dan kebakaran hutan, serta lainnya.
Kenaikan gas rumah kaca dapat distabilkan dengan adanya peran penting ekosistem. Data yang ada 1 batang pohon menyerap 10-40 kg CO2 per tahun. Hutan dunia menyerap 2.400.000.000 metrik ton CO2 per tahun.
Penyerapan CO2 global: tumbuhan darat 52%, alga biru-hijau 45%, lain lain (terlarut, dll) 3%. Lahan gambut: 3% luas lahan global tetapi mengandung 30% simpanan karbon global.
Dalam buku ‘Panduan Perubahan Iklim’ sudah dirancang dengan jelas dan detail tentang bagaimana sekolah mensikapi tentang adanya krisis perubahan iklim ini. Mulai dari intrakurikuler, ekstrakurikuler ataupun kokurikuler.
Semua yang berperan dalam proses pendidikan dan pengajaran juga telah memberikan contoh peran yang bisa dilakukan mulai dari kepala sekolah, siswa, guru, pustakawan, tata usaha, penjaga, hingga penjaga kantin sekalipun dilibatkan untuk menjadikan sekolah memiliki budaya tangguh iklim.
Dari pengalaman pribadi penulis, semua elemen pemerintah ingin memasukkan budaya yang baik di lingkungan pendidikan, seperti bahaya narkoba, sekolah ramah anak, sekolah anti korupsi, pendidikan perubahan Iklim, dan lain sebagainya.
Sekolah merupakan sarana yang tepat untuk mensosialisasikan kebudayaan yang baik tersebut agar bisa berkelanjutan di kemudian hari. Namun hal yang harus diperhatikan demi ‘Program Budaya Tangguh Iklim’ bisa dijalankan yakni dengan masukkan program ini dalam kerangka kurikulum yang nyata dan bukan sisipan atau suplemen.
Lebih lanjut program budaya tangguh di satuan pendidikan menjadi program yang ada di kurikulum. Perlu disadari bahwa untuk memenuhi kurikulum saja tidak mudah dan cakupannya cukup luas. Memang sudah secara rinci dijelaskan dalam buku.
Bekerja sama dengan Stakeholders
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa buku yang bagus ini tidak berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup yang menerbitkan Adiwiyata dan sudah belangsung cukup lama?
Buku kolaborasi dengan bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika ini akan sangat dahsyat jika berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup.
Alasannya, Adiwiyata yang rutin digelar bukan sekedar ajang adminitratif belaka melainkan lebih berdaya guna dan semakin bisa diterapkan secara nyata dalam lingkungan satuan pendidikan.
Ajakan untuk mencegah perubahan iklim ini sangat bagus dan sangat menantang untuk diterapkan di sekolah. Namun menjadi tidak punya daya ledak jika di lingkungan masyarakat budaya tersebut tidak juga diterapkan.
Untuk itu, peran stakeholders dan lapisan masyarakat sangat dibutuhkan untuk bersama, berkolaborasi. (Red)
*) Y.M.V. Trisunu H.W., adalah Guru SD Negeri Jatingaleh 01 Kota Semarang