
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Tepat pukul 09.10 wib pagi ini, seorang Kawan Muda menulis pesan elektronik via WhatsApp kepada saya. “Mampukah banteng menjaga kandangnya”? Demikian, pertanyaan pembukanya.
Well! Nampaknya terlalu dini, melayangkan pertanyaan itu di waktu masih pagi. Sebab saya yakin belum ada separuh masyarakat Jawa Tengah menggunakan hak pilihnya, datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Meski, di luar sana tak sedikit petugas quick qount sedang memulai pekerjaannya.
Dilansir detik.com, Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah (KPU Jateng) resmi menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilihan Gubernur 2024 sebanyak 28.427.616 pemilih.
Mengutip Komisioner KPU Jateng Paulus Widiyantoro, tercatat ada 28.427.616 pemilih yang akan memilih di 56.812 TPS di 35 kabupaten/ kota. Dan jumlah tersebut naik 138.203 pemilih dibandingkan DPT Pileg dan Pilpres 2024.
Fenomena Pilgub Jateng
Gelaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng memang seru. Sebab, perjalanannya yang panjang hingga detik ini mampu menyedot jutaan sorot mata publik. Hal ini karena disebabkan beberapa hal.
Pertama, keprihatinan mendalam dalam hajatan Pilkada kali ini. Dilansir suaramuda.net, Ketua Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, Dr. Nur Hidayat Sardini menyebut ada 3 poin keprihatinan.
Sosok yang akrab disapa NHS itu melihat bahwa Pilkada ini adalah lanjutan dari politik Pilpres 2024. Dia mengamati, dari orang-orangnya, dari pemain kuncinya, dan para aktornya.
NHS juga melihat bahwa dihelatnya pemilu hari ini justru semakin menjauhkan kebijakan dari desentralisasi politik. Ia mengatakan, dari proses pencalonannya saja sudah dipaket dari pusat; yang ditandai dengan calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.
Selain itu, NHS menganggap Pilkada Jateng adalah politik lanjutan tadi. Ia mengatakan, tak sedikit yang mengetahui adanya pemanfaatan aparat negara, ada ASN, TNI-Polri terlibat dalam kontestasi ini.
Kedua, secara gamblang, adanya cawe-cawe dan endorses dari sosok Prabowo Subianto dan juga mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pertarungan politik Jateng ini.
Keterlibatan seorang Jokowi dalam kampanye paslon 2 Ahmad Luthfi-Taj Yasin menjadi sesuatu yang kontroversif. Sebagian kelompok mengamininya, dan kelompok lainnya menganggap langkah Jokowi dan Prabowo sebagai tindakan tak patut.
Lantas, bagaimana dengan ‘Kandang Banteng’?
Yes! Dalam pengamatan sekilas, Pilgub Jateng yang hanya diikuti dua pasang calon memang nampak sengit. Betapa tidak?
Pemilu ini adalah ‘head to head’ kelompok PDIP-nasionalis yang mengusung paslon Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Hendi) dan kelompok KIM plus yang disokong kekuatan (powerfull) dan pengaruh Jokowi-Prabowo dengan mengusung Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
Kelompok KIM plus ini juga didukung oleh kelompok religius yang diwakili gerbong Taj Yasin Maemoen; dari latar belakang pesantren dan santri.
Jika dicermati secara lebih seksama, kedua paslon hanyalah “wayang” yang kemudian dijadikan instrumen untuk adu kekuatan besar nasional itu. Yakni, kekuatan nasional yang tak sejalan yang kemudian melahirkan “pertarungan” semu lewat kedua paslon di Pilgub Jateng.
Dari pengamatan paling sederhana, kita boleh memandang bahwa ada upaya menggeser sekaligus mengobrak-abrik ‘Kandang Banteng’ di Jawa Tengah yang saat ini sedang diupayakan oleh kelompok KIM plus-religius. Kita sebut ‘kandang banteng’, karena istilah ini acalkali diklaim kelompok nasionalis-PDIP sebagai branding kampanye politiknya.
Menang tipis, kalah pun tipis
Pilgub Jateng 2024, selain menampilkan persaingan politik antar pasangan calon kepala daerah, juga menjadi arena politik yang menampilkan sisi menarik lain yang menguji kekuatan struktur kepartaian dari gempuran kekuatan tokoh politik nasional.
Pertentangan antara kekuatan struktur politik kepartaian dan kiprah agen ini terwujud, sejalan dengan keterpilahan dan persaingan politik yang terbangun antara PDI-P dan Jokowi. (Kompas, 26/11/2024).
Meski sebelumnya, baik PDI-P maupun Jokowi ada dalam satu kapal yang sama, dan menggaungkan jargon “Jateng Kandang Banteng”.
Kembali dengan fokos pertarungan kedua paslon hari ini, antara Andika-Hendi versus Luthfi-Yasin, dirasa belum menunjukkan tanda-tanda yang mengerucut kemenangan pada salah satu paslon.
Meski demikian, mengamati gerakan politik Pilgub, hasil diskusi kami memberikan kesimpulan sementara tak ada kemenangan signifikan atas kedua paslon. Apabila kemenangan bisa diraih paslon 1 yang diusung PDIP, nampaknya presentase kemenangannya tak terlalu signifikan. Beda tipis dengan paslon 2 yang memang disokong mesin banyak parpol di Jateng.
Pun sebaliknya, apabila Dewi Fortuna merapat pada paslon 2 yang diusung kelompok KIM “plus-plus” maka tingkat kemenangannya pun tak terlalu berarti. Tetap beda tipis perolehannya, dibanding dengan paslon 1.
Itu artinya, faktor Jateng Kandeng Banteng untuk pemilu periode mendatang, misalkan 2029, tetap masih menjadi kekuatan yang bisa diperhitungkan. Sebab, komposisi pertarungan 1 kelompok dilawan banyak partai dan kepentingan besar; yang disokong kekuatan kelompok religius.
Hematnya, nampaknya Jateng tetap akan mampu menjaga kandangnya. Karena pemilu bukan melulu soal uang dan kepentingan pragmatis. Masih ada secercah harapan, idealisme dan rasionalisme di iklim demokrasi kita yang sedang sakit ini. (Red)
Penulis M Roni dan tim Lembaga Diskusi Alfa Institute Semarang