promo

Faktor Sosial, Ekonomi, dan Tantangan Budaya dalam Fenomena Childfree di Jepang

Ilustrasi: pinterest

Oleh: Meira Anet, Jonathan Kevin, Meya, dan Emir*)

SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Jepang adalah salah satu negara yang terletak di arah Barat Laut Samudra Pasifik di tepi Timur Benua Eurasia, di sebelah kanan Korea. Kepulauan Jepang dipisahkan oleh Laut Jepang atau Laut Timur dari benua Asia lainnya.

Keberadaan Jepang sendiri, bertetanggaan dengan Rusia dan China. Negara ini pasti menjadi opsi bagi para turis untuk dikunjungi pada saat liburan.

Hal ini karena Jepang merupakan negara yang cukup maju dibanding negara-negara lainya atas beberapa alasan tertentu, seperti teknologi yang inovatif, kebijakan ekonomi yang baik, pendidikan yang baik, dan kultur kerja yang kuat.

Promo

Berbalik dengan Indonesia yang setiap harinya mengalami pertumbuhan penduduk dan dianggap kurang maju dari negara lain, Jepang malah mengalami kekurangan dalam populasi penduduk.

Diperkirakan tingkat persentase pertumbuhan jepang saat ini -0,514% dengan jumlah populasi 123.576.046 (populationtoday.com). Hal ini membuat pemerintah harus mencari cara agar populasi mereka bertambah dan stabil.

Gejala Childfree di Jepang

Banyaknya generasi muda Jepang yang tak ingin mempunyai status perkawinan, bahkan tidak ingin memiliki anak atau yang lebih dikenal dengan sebutan “childfree”. Yakni sebuah pilihan pasangan untuk tidak memiliki anak setelah menikah.

Promo

Orang-orang beranggapan, menikah dan memiliki anak itu adalah suatu hal yang menyeramkan karena banyak sekali kasus dan isu yang beredar. Tidak hanya melalui teknologi saja, tetapi keputusan untuk tidak memiliki anak ini juga disebabkan oleh kondisi perekonomian keluarga.

Banyak keluarga yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan hanya dapat memenuhi seminimal mungkin. Maka jika mempunyai anak lagi, mereka akan semakin kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pendapatan yang tidak sebanding dengan gaya hidup yang harus dijalani.

Apa maksud pendapatan tidak sebanding? Perubahan gaya hidup dan nilai-nilai sosial jelas turut berperan aktif dalam mempengaruhi menurunnya tingkat kelahiran di Jepang.

Tingginya tekanan di tempat kerja dan tuntutan untuk mencapai kesuksesan membuat banyak orang enggan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar, seperti menikah dan memiliki anak.

Ditambah lagi, jam kerja yang panjang dan pola kerja yang kompetitif di Jepang seringkali menyisakan sedikit waktu untuk kehidupan keluarga atau bahkan sekadar untuk mencari pasangan.

Akibatnya, banyak orang Jepang yang memilih untuk tetap lajang atau menikah lebih terlambat dari generasi sebelumnya, yang berkontribusi pada rendahnya angka kelahiran.

Faktor Ekonomi?

Kondisi ekonomi yang tidak menentu juga menjadi faktor penting. Meskipun Jepang termasuk negara maju, banyak keluarga yang merasa bahwa biaya hidup di Jepang, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, sangat tinggi.

Harga properti, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan menjadi beban besar bagi keluarga muda. Akibatnya, banyak pasangan yang merasa tidak mampu secara finansial untuk membesarkan anak.

Ketidakpastian ekonomi global dan tantangan ekonomi domestik, seperti stagnasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi, juga memperparah situasi ini. Sementara, struktur masyarakat Jepang yang semakin menua turut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan populasi.

Dilansir dari rri.co.id, populasi penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas menambah 20 ribu dibanding tahun lalu dengan populasi 36,25 juta. Angka ini terus meningkat seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan harapan hidup yang lebih tinggi.

Ketakseimbangan Demografis

Hal ini menciptakan ketidakseimbangan demografis di mana jumlah penduduk usia produktif semakin berkurang, sementara jumlah lansia terus meningkat. Faktor ini juga mempengaruhi perekonomian, karena semakin sedikit tenaga kerja muda yang dapat mendukung sistem pensiun dan perawatan kesehatan bagi penduduk lansia.

Menurut Soerjono Soekanto, ahli sosiolog Indonesia, seorang lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, permasalahan sosial merupakan situasi dimana ada ketidaksesuaian dalam unsur – unsur dalam masyarakat, seperti nilai dan norma.

Permasalahan ini dapat menimbulkan konflik di masyarakat dan bersifat bahaya jika dibiarkan di dalam suatu kelompok sosial. Permasalahan ini terjadi ketika ada individu atau kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri dalam perubahan sosial.

Soerjono Soekanto juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menimbulkan permasalahan sosial, seperti faktor ekonomi, psikologis, biologis, dan juga budaya.

Sementara, Allen Pincus dan Anne Minahan mendefinisikan masalah sosial sebagai kondisi sosial yang tidak sesuai dengan nilai masyarakat setelah dievaluasi oleh masyarakat. Masalah sosial bisa dikenali saat terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menurut penilaian individu.

Perlu diketahui bahwa masalah sosial tidak hanya berdampak buruk tetapi juga bisa memberikan dampak yang menguntungkan bagi masyarakat. Dampak positifnya, meningkat kesadaran masyarakat mengenai ketidakadilan, dan memperkuat solidaritas antar masyarakat yang lebih membutuhkan.

Permasalahan sosial ini justru bisa menjadi kunci untuk membuat masyarakat lebih terdorong untuk mencari solusi dan menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Permasalahan sosial ini dapat diambil contoh dari peristiwa childfree di Jepang. Pada tanggal 5 Juni 2024, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (MHLW) menerbitkan statistik demografi terbaru yang mengungkap bahwa tren penurunan angka kelahiran di Jepang terus berlanjut.

Jumlah kelahiran pada tahun 2023 adalah 727.000, angka terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1899. Jumlah rata-rata anak yang diharapkan dimiliki oleh seorang wanita Jepang dalam hidupnya juga mencapai rekor terendah yaitu 1,2.

Perdana Menteri Fumio Kishida menyatakan pada bulan Maret 2023 bahwa enam hingga tujuh tahun ke depan akan menjadi kesempatan terakhir negara tersebut untuk membalikkan tren ini, tetapi statistik saat ini masih memproyeksikan penurunan yang tak henti-hentinya.

Seruan Kishida untuk tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap penurunan angka kelahiran berjumlah sebanyak 3,6 triliun yen (US$22,3 miliar) per tahun.

Sistem dana dukungan akan dibuat untuk mengumpulkan kontribusi dari masyarakat dan bisnis, di samping asuransi kesehatan publik, dengan implementasi bertahap dimulai pada tahun fiskal 2026.

Pemerintahan Kishida mempertimbangkan untuk mengamankan dana dengan meningkatkan biaya sendiri bagi para lansia berusia 75 tahun ke atas. Sementara pemerintahan Kishida ragu-ragu untuk mengatasi beban masa depan inisiatif tersebut bagi masyarakat.

Tidak hanya itu, terdapat pertanyaan lain yang belum terjawab yaitu apakah pendanaan saja dapat mengatasi penurunan angka kelahiran di Jepang? Tampaknya tidak mungkin bahwa gaji finansial saja akan meningkatkan angka kelahiran.

Langkah Pemerintah Jepang

Dikutip dari tirto.id, sejauh ini pemerintah Jepang memang telah merancang kebijakan untuk memberikan bantuan dana sebesar 500.000 yen yang bisa digunakan untuk biaya persalinan dan rumah sakit.

Padahal ada beberapa alasan lain sebagian orang memilih tidak menikah dan memiliki anak. Seperti banyak anak muda di Indonesia, punya anak atau membina keluarga hanya dianggap akan memberi tambahan beban ekonomi.

Masih kentalnya budaya patriarki termasuk di Jepang yang beranggapan bahwa tugas laki-laki adalah pemberi nafkah keluarga, sedangkan perempuan harus bergelut dengan urusan rumah tangga dan mengurus anak saja juga menjadi faktor childfree.

Pemikiran yang sudah hadir entah sejak kapan ini perlahan menumbuhkan ketakutan. Dengan ketatnya persaingan kerja, mereka, khususnya laki-laki, khawatir tidak punya cukup uang untuk membiayai hidup pasangan jika nanti menikah. Sementara banyak perempuan yang kini melihat bahwa mereka mempunyai banyak pilihan lain selain menjadi ibu rumah tangga.

Berbagai macam alasan masyarakat di Jepang dalam mengambil keputusan untuk childfree membuat pemerintah merasa kesulitan dan timbul keraguan dalam mengatasi permasalahan sosial tersebut.

Padahal, permasalahan seperti ini harus segera diselesaikan agar populasi penduduk di Jepang dapat bertambah dan mengurangi kemungkinan bagi ‘Negara Matahari Terbit’ ini dalam mengalami kepunahan.

Oleh karena itu, pemerintah Jepang perlu menghadapi permasalahan yang sedang terjadi dengan cepat dan tidak merugikan satu atau semua sisi di dalam masalah ini dengan meninjau setiap faktor penyebab terjadinya childfree.

Tidak hanya permasalahan ekonomi saja, tetapi pemerintah juga bisa mencari cara secara demografis dengan meninjau kelompok masyarakat yang memilih untuk childfree. (Red)

*) Penulis: Meira Anet, Jonathan Kevin, Meya, dan Emir (Siswa SMA Kolese Gonzaga Jakarta)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo