
Oleh: Andri Rahman*)
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Pada akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengakhiri masa jabatannya pada 2024, sebuah kebijakan kontroversial yang mengubah regulasi terkait Dana Pensiun untuk Presiden, Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara dikeluarkan.
Kebijakan ini, yang diberlakukan hanya beberapa hari sebelum masa jabatan beliau berakhir, mendapat sorotan luas dari masyarakat dan kalangan politik.
Kebijakan tersebut tidak hanya menaikkan tunjangan pensiun pejabat negara hingga 6 kali lipat, tetapi juga memberikan fasilitas mewah seperti rumah, biaya kesehatan, biaya listrik, air, telepon, serta berbagai fasilitas lainnya yang akan diterima seumur hidup oleh para pejabat yang sudah pensiun. Bahkan, fasilitas ini juga berlaku untuk seluruh keluarga mereka.
Kebijakan ini memunculkan perdebatan tentang ketimpangan sosial yang semakin tajam di Indonesia, di tengah angka kemiskinan yang semakin meningkat dan beban hidup yang semakin berat bagi rakyat, terutama bagi kelas menengah yang tergerus menjadi kelas bawah.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis kebijakan ini dalam konteks ekonomi politik, khususnya dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat, pengelolaan anggaran negara (APBN), dan ketimpangan sosial yang semakin terasa.
1.Beban Ekonomi Rakyat dan Ketimpangan Sosial
Peningkatan tunjangan pensiun pejabat negara yang diberlakukan pada akhir masa pemerintahan Jokowi menunjukkan adanya ketimpangan antara pejabat negara dan rakyat biasa.
Sementara pejabat negara menikmati fasilitas dan tunjangan pensiun yang sangat besar, rakyat, terutama kelas menengah, semakin tercekik oleh biaya hidup yang terus meningkat.
Harga-harga barang dan kebutuhan pokok yang melambung, ditambah dengan pajak yang semakin tinggi, membuat daya beli masyarakat menurun.
Kelas Menengah Turun Jadi Kelas Bawah
Kelas menengah, yang selama ini menjadi pilar ekonomi negara, kini mulai tergeser oleh tingginya biaya hidup.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2023, dengan angka kemiskinan mencapai sekitar 9,8% dari total penduduk Indonesia.
Sementara itu, banyak di antara mereka yang berada di kelas menengah terpaksa turun kelas karena penghasilan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.
Tingginya biaya kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, BBM, dan listrik, membuat sebagian besar masyarakat kesulitan untuk mempertahankan gaya hidup mereka.
Di sisi lain, ketimpangan yang terlihat jelas dalam kebijakan pensiun pejabat negara, yang memberikan fasilitas seumur hidup tanpa memperhatikan keadaan rakyat, menciptakan jurang ketidakadilan sosial yang semakin lebar.
2. Dampak terhadap Anggaran Negara (APBN)
Salah satu aspek yang paling krusial dalam kebijakan ini adalah dampaknya terhadap anggaran negara.
Pemerintah Indonesia, yang sudah mengalami kesulitan dalam mengelola APBN selama beberapa tahun terakhir, kini harus menanggung beban tambahan akibat kebijakan pensiun yang sangat mewah ini.
Peningkatan tunjangan pensiun pejabat negara yang mencapai 6 kali lipat tentu akan menambah beban negara dalam jangka panjang.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah harus meningkatkan pajak untuk mendanai anggaran tersebut. Hal ini berisiko memperburuk keadaan ekonomi masyarakat yang sudah terbebani dengan pajak yang semakin tinggi, sementara banyak fasilitas dan dana yang diperuntukkan bagi pejabat negara.
Ketika rakyat dipaksa untuk membayar lebih melalui pajak, sementara pejabat negara justru mendapatkan tunjangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat, hal ini akan memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Peningkatan Pajak: Beban bagi Rakyat Kecil
Untuk menutupi defisit APBN, pemerintah sering kali mengandalkan penerimaan pajak, yang dapat berupa pajak penghasilan, pajak konsumsi (seperti PPN), dan pajak kendaraan.
Namun, kenaikan tarif pajak ini berpotensi mempengaruhi masyarakat kelas bawah dan menengah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bahkan, berbagai program sosial yang sebelumnya diharapkan bisa membantu rakyat miskin dan kelas menengah, seperti bantuan sosial (bansos) atau subsidi energi, terancam terganggu jika APBN semakin tekor.
Sementara itu, pejabat yang telah pensiun justru akan terus menikmati fasilitas-fasilitas tersebut tanpa batas waktu, yang menjadi sorotan bagi banyak pihak yang merasa bahwa kebijakan tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial.
3. Efek Jangka Panjang terhadap Kepercayaan Publik
Ketidakadilan yang muncul akibat kebijakan pensiun pejabat negara ini bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Rakyat merasa bahwa pejabat negara lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat. Hal ini akan menciptakan ketidakpuasan yang meluas, yang berpotensi meningkatkan ketegangan sosial dan memperburuk polarisasi di masyarakat.
Jika kebijakan seperti ini diteruskan, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa semakin menurun. Rakyat akan merasa bahwa mereka semakin terpinggirkan dalam pemerintahan yang seharusnya melayani kepentingan mereka.
Sebagai hasilnya, legitimasi politik pemerintah bisa terganggu, dan pengaruhnya terhadap stabilitas sosial dan politik juga dapat berisiko.
4. Solusi dan Rekomendasi
Menghadapi ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam, pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan pejabat negara. Beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kondisi ini antara lain:
Mengevaluasi kembali kebijakan pensiun pejabat negara: Sebaiknya kebijakan pensiun pejabat negara disesuaikan dengan kapasitas negara untuk membiayainya, serta didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Fasilitas yang diberikan harus relevan dengan tugas dan tanggung jawab mereka selama menjabat.
Memperkuat program-program kesejahteraan rakyat: Program-program sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), subsidi bahan pokok, dan program pengentasan kemiskinan harus diperkuat agar rakyat miskin dan kelas menengah mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.
Meningkatkan efisiensi anggaran negara: Pemerintah harus lebih bijak dalam mengelola APBN, dengan memprioritaskan pengeluaran yang langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat, serta mengurangi pemborosan pada proyek-proyek yang tidak mendesak.
Transparansi dan akuntabilitas: Pemerintah harus lebih transparan dalam mengelola anggaran negara dan memberikan penjelasan yang jelas kepada rakyat mengenai alokasi anggaran dan kebijakan yang diambil, termasuk terkait dengan tunjangan pensiun pejabat negara.
Kebijakan pensiun pejabat negara yang diberlakukan pada akhir masa pemerintahan Jokowi menjadi cermin dari ketimpangan sosial yang semakin memperburuk kesejahteraan rakyat.
Di saat yang sama, beban ekonomi semakin terasa bagi kelas menengah dan masyarakat miskin, yang terjerat dalam biaya hidup yang semakin tinggi.
Untuk itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi dan perbaikan kebijakan agar kesejahteraan rakyat dapat lebih diprioritaskan, dan anggaran negara dapat dikelola dengan bijak tanpa membebani rakyat yang sudah cukup tertekan dengan kondisi ekonomi saat ini. (Red)
*) Andri Rahman, Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan IPS Universitas Negeri Semarang