
SUARAMUDA, KOTA SEMARANG — Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyebut deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas “masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja”.
Oleh karenanya, ironi, ketika bank sentral Indonesia meminta masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Di sisi lain, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang tentunya berimbas pada anjloknya daya beli.
Dikutip dari BBC News Indonesia, sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mengeluhkan sepinya pembeli. Salah satunya, Eli Kamilah di Subang, Jawa Barat, yang kedai kopinya di Desa Sukamandijaya tengah mengalami sepi pembeli dalam beberapa pekan terakhir.
“Pernah yang beli cuma lima orang, padahal biasanya tuh bangku selalu penuh,” ujar Eli, seperti dilansir BBC News Indonesia, Jumat (4/10/2024).
Fakta sepinya pembeli juga dialami Masriah, pedagang ayam potong. Ia mengaku mengalami penurunan daya beli masyarakat dalam beberapa pekan ini.
Catatan BPS
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presidan Joko Widodo.
“Secara historis, deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12% (month to month),” jelas Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, seperti dikutip dari konferensi pers di kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (01/10/2024) lalu.
“Deflasi pada September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada 2024 secara bulanan,” sambungnya.
Deflasi berturut-tutut selama 2024 pertama kali terjadi pada Mei lalu, sebesar 0,03% month to month. Lalu semakin dalam di Juni yang menyentuh 0,08% dan tak lebih baik pada Juli dengan 0,18%.
BPS kemudian mencatat deflasi mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03% secara bulanan. Tapi tingkat deflasi di Indonesia kini kembali terpuruk.
“Deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir terlihat secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak. Terjadi penyesuaian harga BBM pada September, bahan bakar minyak yang mengalami penurunan harga adalah BBM khusus non-subsidi,” ujarnya.
“Kami mencatat komoditas bensin dan solar mengalami deflasi pada September dan tingkat deflasinya masing-masing sebesar 0,72% dan 0,74%.”
Adapun makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang deflasi beruntun di Indonesia. Kelompok ini mencatat deflasi 0,59% per September.
BPS juga mencatat hampir semua provinsi di Indonesia mengalami deflasi. Hanya 14 provinsi yang malah terjadi inflasi secara bulanan.
“Jika dilihat dari sebaran inflasi bulanan menurut wilayah, sebanyak 24 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia mengalami deflasi.”
“Deflasi terdalam 0,92% month to month terjadi di Papua Barat. Sementara itu inflasi tertinggi terjadi di Maluku Utara sebesar 0,56% month to month.”
Apa Arti Deflasi?
Deflasi adalah istilah dalam ekonomi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Sekilas, deflasi tampak menguntungkan bagi orang karena harga-harga barang dan jasa jadi lebih terjangkau oleh konsumen.
Namun, ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana menyebut deflasi yang terjadi sekarang bisa jauh lebih berbahaya. Sebab deflasi beruntun ini menjadi indikator bahwa “pendapatan atau uang di masyarakat sudah semakin langka didapatkan”.
Sederhananya, masyarakat yang memiliki uang semakin sedikit.
“Jadi uang semakin sedikit itu bukan karena masyarakat tidak ingin berbelanja, tapi karena memang pendapatannya sudah turun. Itu indikasi yang sangat jelas dari kondisi deflasi saat ini,” jelas Andri. (Red)