
SURAKARTA, SUARAMUDA –
Meski bullying merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman yang cukup berat, namun tak semua warga pondok pesantren memahaminya. Ironisnya, kasus bullying di lingkungan lembaga pencetak kader Ulama ini sudah cukup banyak yang masuk ke ranah meja hijau.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH) PWNU Jawa Tengah, Dr Atatin Malihah S.Ag MH, mengatakan karena itu sudah saatnya NU yang memiliki perangkat pemberdayaan pesantren segera mengambil langkah sosialisasi dan edukasi kepada warga pesantren tentang bullliying.
“LPBH PWNU Jateng mengawali langkah itu dengan menggelar Seminar Nasional bertema “Pesantren sebagai Wadah Pendidikan Karakter: Upaya Pencegahan Bullying melalui Pendekatan Syariah dan Hukum Nasional” di Aula Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said (RMS) Surakarta pada Senin 28 Oktober lalu,” kata Attatin di Semarang, Kamis (31/10).
Menurutnya, dalam menyelenggarakan kegiatan ini LPBH PWNU Jateng menjalin kerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKKOHIS) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta dengan menghadirkan sejumlah akademisi, tokoh pesantren, dan praktisi hukum. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari agenda kegiatan peringatan Hari Santri 2024.
Hingga Triwulan 2024, lanjutnya terjadi 21 kasus bullying. Tiga kasus di antaranya terjadi di lembaga Pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemenristek Dikti) RI, dan empat di antaranya kasus yang terjadi di lingkungan pesantren
Dia menambahkan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kerap tidak masyarakat tak terkecuali warga pesantren sadar melakukan tindak bullying. Di antaranya, melakukan kontak fisik langsung, contohnya memukul, melakukan kontak verbal dengan cara merendahkan dan perilaku non verbal langsung. Contohnya melihat dengan sinis. Perilaku non verbal tidak langsung dengan contoh mengucilkan dan an pelecehan seksual.
Agar hal ini tidak terjadi, ujarnya pesantren perlu mengambil langkah penyesuaian dalam membuat regulasi internal yang sejalan dan linier dengan UU Perlindungan Anak dan KUHP. Dengan demikian pesantren dapat berkembang tanpa tekanan fisik maupun psikis sepanjang regulasi itu diimplementasikan dengan tepat.
Perlu diketahui, pada undang-undang (UU) nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sudah menjelaskan dan mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.
Dalam pasal 1 angka 15a UU nomor 35 tahun 2014 menegaskan bahwa kekerasan adalah tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau bentuk penelantaran pada anak, termasuk ancaman, paksaan, atau tindakan yang menghilangkan kebebasan anak secara ilegal.
“Tindakan kekerasan ini dapat berupa apa saja yang mengganggu kenyamanan dan keamanan anak di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, sehingga siapapun yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dikenai sanksi pidana sesuai pasal 80 (1) jo. pasal 76c UU nomor 35 tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda sebesar Rp72 juta,” katanya.
Selanjutnya, Pasal 76c melarang segala bentuk kekerasan, baik berupa tindakan langsung maupun tidak langsung, terhadap anak. Jika kekerasan tersebut menyebabkan luka berat, pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 80 (2).
Selain UU Perlindungan Anak, Atatin juga merujuk Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penghinaan atau pencemaran nama baik, yang sering kali muncul dalam kasus perundungan. Pasal ini relevan dalam konteks pesantren, di mana tindakan atau ujaran yang merendahkan martabat santri dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, yang juga memiliki konsekuensi pidana.
Direktur PUSKOHIS Fakultas Syariah UIN RMS, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha SH MH MA menegaskan, posisi pesantren merupakan wadah yang efektif dalam pendidikan karakter serta upaya preventif terhadap bullying.
Karena itulah, di tengah maraknya kasus bullying, konsep pendidikan pesantren dengan teori keadilan hukum dan pendekatan fiqh (jurisprudensi Islam), dianggap relevan dalam membentuk regulasi dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan santri.
“Pesantren memegang peran penting sebagai miniatur sistem hukum yang adil dan egaliter. Sebab di dalamnya, nilai-nilai syariah diinternalisasikan dalam praktik sehari-hari. Maka pesantren bisa memaksimalkan pendekatan hukum syariah sebagai instrumen untuk membangun budaya hidup damai dan harmonis,” katanya.
Menurutnya, hukum harus bekerja sebagai alat yang mampu menginternalisasi moral dan akhlak, menjauhkan santri dari perilaku menyimpang seperti bullying.
Sedangkan Dekan Fakultas Syariah UIN RMS, Dr Muh Nasiruddin S.Ag MA M.Ag saat memberikan opening speech menyoroti pentingnya membangun sinergi antara lembaga hukum Islam dan lembaga pendidikan nasional. Demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.
“Karena itulah, Fakultas Syariah UIN RMS akan terus bekerja sama dengan LPBHNU Jateng dalam upaya memperkuat advokasi dan penerapan hukum yang mendukung kesejahteraan santri. Dengan harapan, dapat menghasilkan lebih banyak kebijakan yang berdampak positif dalam menjaga keamanan dan kenyamanan bagi para santri di pesantren,” tuturnya (Ida)