suaramuda

Republik ini, Republik “Patungan” !?

Publik tanah air belakangan ini tampak muram atas kebijakan pemerintah yang dinilai tak populis. Sebagian diantara mereka menggerutu, sebagian mencibir dan bahkan memaki pemerintah. Di kantor, bahkan di warung-warung kopi masyarakat acapkali membicarakan “patungan” yang digagas pemerintah.

Ya, memang belum lama ini pemerintah menggulirkan kebijakan “program patungan” Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Laporan katadata.co.id (29/5/2024), misalnya, menulis bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menetapkan aturan yang mewajibkan para pekerja untuk membayarkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera sebesar 3% dari upah atau penghasilan mulai 2027.

Kebijakan Jokowi memang bukan hal baru. Meski kewajiban untuk membayarkan iuran baru resmi ditetapkan, aturan yang menaungi yakni Undang-Undang Tapera sebenarnya sudah disahkan sejak 2016. Pembahasan UU Tapera itu sejatinya diinisiasi sejak periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, kala itu RUU yang masuk prolegnas 2014 tersebut gagal disahkan karena penolakan pemerintah.

Dalam RUU tersebut, besaran iuran Tapera saat itu direncanakan sebesar 3%, terdiri dari 2,5% yang dibayarkan pekerja dan 0,5% yang dibayarkan oleh pemberi kerja (Katadata.co.id, 29/5/2024).

suaramuda

Publik pun heboh! Pro-kontra masyarakat akhirnya turut meramaikan suasana batin politik yang tensinya belum turun terutama pasca pilpres 2024. Tapi bagaimana lagi, kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 itu mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR kabarnya memang akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji.

Sontak, buruh sebagai golongan paling berkepentingan juga berteriak kencang memprotes aturan itu. Apalagi pemerintah memutuskan, bahwa tahun 2027 bakal menjadi momentum kewajiban semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya ke BP Tapera.

Demonstrasi pun digelar buruh di kawasan seberang Monas, Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024) lalu. Mereka mengeluhkan potongan gaji yang harus mereka tanggung apabila nanti Tapera diberlakukan.

Asuransi Khusus Kendaraan

Kegelisahan akan bayang-bayang “hantu Tapera” belum pudar, kini pemerintah mewacanakan program asuransi bagi seluruh kendaraan baik roda dua, tiga maupun roda empat dan seterusnya. Asuransi itu diwajibkan bagi pemilik kendaraan bermotor berupa tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability/TPL) dan hasilnya tetaplah menuai pro dan kontra. Sebab, skema pemungutan premi beserta besarannya masih belum jelas.

Pemerintah beralibi, ketentuan wajib ikut asuransi TPL yang mulai 2025 itu berdasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dalam Pasal 39A beleid tersebut, pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan.

Pemerintah juga dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud,” demikian bunyi Pasal 39A ayat (2).

Jika kedua program baru yang makin memberatkan itu terealisasi, masyarakat awam, golongan lemah dan kaum buruh adalah “korban” yang paling fatal. Pasalnya, kaum buruh misalnya, mereka telah dipotong hampir 12%, dan pengusaha sudah hampir dipotong 18%.

Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, gaji buruh sudah dipotong jaminan pensiun 1%, jaminan kesehatan 1%, PPh 21 pajak 5%, jaminan hari tua 2%, sekarang Tapera 2,5%, total mendekati hampir 12% (detik.com, 6/6/2024). Dan total prosentase dari potongan gaji tersebut belum termasuk potongan asuransi yang nantinya bakal berlaku antara 2024 atau 2025.

Lagi-lagi rakyat menjadi “korban” kebijakan pemerintah. Entah ada orientasi dan visi kebijakan lain, atau apa? Yang jelas, pemerintah belakangan ini getol mewacanakan “patungan” yang diberlakukan pada rakyatnya. Padahal, patungan ala kesehatan (BPJS) juga di satu sisi meringankan dan di sisi lain sungguh mencekik leher.

Terkait hal tersebut, buruh bahkan menilai, program tersebut hanya akal-akalan pemerintah untuk menambah anggaran negara dengan cara memungut duit dari rakyat (viva.co.id, 31/5/2024). Di sisi lain, ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, yang ada justru menyengsarakan rakyat.

Meminjam kritik Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion dalam rmol.id (21/7/2024), sejumlah kebijakan aneh yang dikeluarkan Pemerintahan Jokowi menjadi potret pemerintah tak mampu mengelola keuangan negara dengan baik. Kebijakan mengejar pendapatan itu bisa disebabkan gagalnya pemerintah mengelola keuangan negara. Tragis!

Penulis: DT. Atmaja
Ilustrasi: digo.id

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo