
SUARAMUDA – Sebenarnya tak ada yang berbeda antara jamaah Islam tradisional Aboge dengan Muhammadiyah, NU atau bahkan LDII. Mereka sama-sama Islam serta menunaikan syariat yang sama. Jamaah Aboge bahkan memiliki amaliyah yang sama pula dengan Islam ala NU. Hanya saja, mereka mengaku mengikuti aliran “Aboge”.
Ya, beginilah fenomena jamaah Aboge di bagian pesisir selatan Pulau Jawa, tepatnya di daerah Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo. Memang tak semua masyarakat jadi pengikut jamaah Aboge. Tapi hingga kini di sebagian wilayah Grabag masih ditemukan sebagian kelompok masyarakat yang masih mengamini ajaran Aboge.
Mbah Joyo, 79 tahun, membenarkan adanya fenomena jamaah Islam Aboge di wilayah selatan Purworejo. Tepat hari Rabu 10 April 2024 pagi, Mbah Joyo dan juga masyarakat yang berdiam di sekitaran Desa Pasaranom, Bakurejo, Sumber Agung hingga Nambangan melaksanakan shalat Idul Fitri bersama-sama. Mereka datang ke masjid kampung, lalu melakukan shalat Id berjamaah.
Diawali dengan kumandang takbir, masyarakat mulai berdatangan ke masjid. Kemudian petugas (takmir masjid) menyampaikan rundown, serangkaian shalat id. Tak berselang lama, petugas bilal (muazin) menyahut microphone tanda akan segera dimulainya shalat berjamaah. Tentu, imam shalat telah ready dan akhirnya shalat yang dilaksanakan tiap setahun sekali itu berkumandang. Usai shalat, imam yang juga bertugas sebagai khatib menyampaikan ceramah, khutbah idul fitri.
Jika disimak secara mendalam, baik secara teks bacaan maupun gerakan shalat ‘pleg’ seperti halnya umat Islam (Suni) pada umumnya. Begitu pula dengan teks khutbah yang dibacakan, tak secuil pun melenceng dari konteks Islam.
Esensi khutbah yang disampaikannya pun tentang kesucian (fitri) serta kebaikan-kebaikan. Hanya saja, yang membedakan aliran Islam Aboge dengan Islam kekinian ala Muhammadiyah-NU yakni mengenai tradisi halal bi halal atau masyarakat sini menyebutnya dengan istilah “balalan”.
Dasar penentuan 1 Syawal oleh Islam Aboge
Karena penentuan lebaran tanggal 1 Syawal yang berbeda, tradisi balalan oleh jamaah Aboge tak berbarengan dengan umat Islam pada umumnya. Misal pemerintah menjatuhkan tanggal 1 Syawal pada hari Rabu, mereka tetap saja menggelar shalat Id pada hari Rabu. Akan tetapi tradisi halal bi halal dan salam-salaman sebagai ritual saling memaafkan baru dilakukan pada Jumat, atau berselang satu hari setelah hari-H Idul Fitri.
Masyarakat penganut ajaran Aboge pun melakukan aktivitas seperti biasa, usai shalat id. Bagi mereka yang berprofesi sebagai petani, mereka akan ke sawah mengurus tanamannya. Mereka tetap berjualan ke pasar, bepergian, serta kegiatan normal lainnya. Lebaran yang ditandai dengan shalat id yang jatuh pada Rabu, misalnya, hanya dijadikan ‘ritualitas keagamaan’ semata.
Islam Aboge atau ‘Alip Rebo Wage’ boleh dibilang kelompok Islam tradisi atau Kejawen yang mendasarkan pada perhitungan Jawa. Konon, Aboge sering dikaitkan sebagai jenis perhitungan kalender Jawa dengan menggunakan sistem satu windu (delapan tahun) untuk menyelesaikan satu periode waktu.
Khusus lebaran pada tahun 2024 ini, tanggal 1 Syawal sebagaimana didasarkan pada tahun baru Islam jatuh pada hari Jumat Wage, yakni tanggal yang sama dengan hitungan tahun baru Islam (ala Aboge) yang jatuh pada hari Rabu Wage. Oleh sebab itu, tradisi balalan baru akan terlaksana pada hari Jumat Wage, 12 April 2024.
“Ya karena tanggal 1 Syuro jatuh pada Rebo Wage, jadi untuk lebaran tanggal 1 Syawal tahun ini jatuh pada Jumat Wage,” ujar Paiman, 76 tahun.
Ia mengungkapkan, perhitungan lebaran seperti itu telah dilakukan sejak dahulu kala. Sebagai tradisi, yang juga banyak dianut oleh sekelompok masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, lebaran model Aboge dilakukan secara turun-temurun.
“Ini turun-temurun, sejak saya kecil juga sudah begini. Terus menjadi tradisi hingga sekarang. Dan sebagian besar masyarakat sini terus melakukan kegiatan itu,” tukasnya.
Sementara Mbah Joyo menuturkan, tak ada yang menyuruh tradisi balalan yang tiap kali lebaran selalu berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Dikatakan, balalan model Aboge sebagai gelaran Islam tradisi tetap mengikuti patokan tanggal 1 Syura.
Untuk itu masyarakat di sekitar tempat tinggalnya telah secara otomatis melakukan tradisi itu. Ia juga mengungkap bahwa tak ada pemimpin jamaah, tokoh yang dituakan (pandhito) atau semacam kiai khusus yang memberikan intruksi.
Patuh pada anjuran pemerintah
Bagi para pendatang, fenomena lebaran ala Islam Aboge memang terasa tak lazim, unik. Tapi ya, begitulah. Namanya juga Islam tradisi, turun-temurun dan sampai sekarang tak ada seorang figur yang mampu merubahnya. Semua berjalan sesuai garis tradisi, namun tak melanggar norma apalagi aturan (syariat) yang berlaku umum.
Jamaah Islam Aboge juga tergolong patuh pada ketentuan pemerintah. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, mereka selalu mengikuti anjuran pemerintah. Dalam penentuan 1 Ramadhan, misalnya, mereka juga nurut pada anjuran Kementerian Agama. Katakanlah pemerintah menjatuhkan 1 Ramadhan pada hari Selasa, mereka pun sama. Begitu pula saat mereka menjatuhkan 1 Syawal pada hari Rabu, jamaah Aboge juga mengikutinya.
Secara universal, penentuan Ramadan dan Syawal tak menjadi soal bagi mereka. Meski memiliki landasan perhitungan tersendiri namun mereka tetap saja kompromi pada keputusan pemerintah.
Hanya saja dalam penentuan 1 Syawal, mereka punya ciri khas dengan menjatuhkan hari lebaran sesuai dengan perhitungan Jawa (1 Syura). Dan hari itu dicap sebagai momen resepsi lebaran yang ditandai dengan balalan (halal bi halal). Begitulah keragaman dalam Islam di bumi Nusantara.
Penulis: DT. Atmaja