![Petani Indonesia Menua, Pemuda Indonesia Mengejar Mimpi di Sawah Negeri Sakura: Mengapa?](https://suaramuda.net/wp-content/uploads/2025/02/IMG_20250209_072749.jpg)
Oleh: Muammal Farizal *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Mahasiswa dalam pandangan Freire perlu menjadi “subjek” dalam kehidupan mereka sendiri, bukan “objek” dari sistem.
Artinya, mahasiswa harus sadar dan terlibat aktif dalam politik untuk memahami posisi mereka dalam masyarakat dan membuat keputusan yang berdampak langsung pada diri mereka, bukan hanya mengikuti arus yang sudah ditetapkan.
Freire percaya bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menindas. Ketika mahasiswa memahami politik, mereka dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk membebaskan diri dari penindasan, ketidakadilan, dan kebijakan yang merugikan.
Ini sejalan dengan konsep bahwa pendidikan yang baik mengarah pada aksi transformasi dalam masyarakat.
Kebebasan mahasiswa di perguruan tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam menciptakan lingkungan akademik yang dinamis dan progresif.
Mahasiswa sebagai agen perubahan, seharusnya memiliki ruang untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, serta terlibat aktif dalam kegiatan akademik dan non-akademik.
Namun dalam kenyataannya, kebebasan mahasiswa sering kali dibatasi oleh berbagai bentuk birokrasi kampus yang kaku dan berlebihan.
Birokrasi Menghambat Kreativitas Mahasiswa
Birokrasi kampus yang terlalu kompleks di sisi lain bahkan dapat menghambat inisiatif mahasiswa dalam berbagai hal, seperti mengadakan kegiatan, mengakses fasilitas kampus, atau menjalankan organisasi mahasiswa.
Proses perizinan yang panjang dan persyaratan administrasi yang rumit sering kali membuat mahasiswa kehilangan semangat untuk berpartisipasi aktif.
Misalnya saja untuk menyelenggarakan sebuah acara diskusi publik, mahasiswa harus mendapatkan izin dari berbagai pihak dengan waktu persetujuan yang tidak pasti.
Birokrasi kampus pun sering kali menjadi alat untuk membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa.
Beberapa kampus menerapkan aturan yang ketat terkait dengan isi diskusi, narasumber, serta topik yang boleh dibahas.
Hal ini dapat mengekang pemikiran kritis mahasiswa dan menghambat perkembangan intelektual mereka.
Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang yang bebas untuk bertukar ide dan gagasan.
Birokrasi kampus seharusnya berfungsi sebagai fasilitator yang mendukung kegiatan mahasiswa, bukan sebagai penghalang.
Proses administrasi yang sederhana dan transparan justru akan lebih mudah mendorong mahasiswa untuk lebih aktif dan kreatif dalam berkegiatan.
Selain itu, pihak birokrasi juga perlu lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari mahasiswa untuk menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan demokratis.
Kesimpulan
Pembatasan kebebasan mahasiswa oleh birokrasi kampus adalah masalah yang perlu segera diatasi.
Perguruan tinggi harus menyadari bahwa kebebasan mahasiswa merupakan salah satu faktor kunci dalam menciptakan lingkungan akademik yang inovatif dan berdaya saing tinggi.
Dengan mengubah birokrasi menjadi lebih sederhana dan mendukung, kampus dapat menjadi tempat yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya pemikiran kritis mahasiswa. (Red)
*) Penulis: Muammal Farizal, aktivis BEM, Mahasiswa Politeknik Medica Farma Husada Mataram