![Paradoks Pendidikan yang Membebaskan](https://suaramuda.net/wp-content/uploads/2025/01/IMG_20250129_074124.jpg)
Oleh; Muhamad Akbar Amanda *)
SUARAMUDA, SEMARANG – Ketika membahas sektor pertanian di Indonesia, salah satu masalah yang terus menjadi sorotan adalah semakin tingginya usia rata-rata petani.
Sektor pertanian di Indonesia tengah mengalami perubahan yang signifikan, di mana dominasi petani berusia lanjut semakin terlihat jelas, sementara minat generasi muda untuk terjun ke bidang ini semakin berkurang. Data mengungkapkan bahwa mayoritas petani di Indonesia saat ini berusia di atas 45 tahun.
Menurut BPS, hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 Tahap 1 menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani di Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,42%, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023.
Selain itu, profil petani didominasi oleh kelompok usia tua. Sebanyak 42,39% petani Indonesia termasuk dalam Generasi X, yang berusia 43–58 tahun.
Sementara itu, petani dari Generasi baby boomer (59–77 tahun) mencapai 27,61%, dan petani milenial (27–42 tahun) menyumbang 25,61%.
Adapun petani dari Generasi Z (11–26 tahun) memiliki proporsi terkecil, yaitu hanya 2,14%.
Jika tidak segera ditangani, kondisi ini akan berdampak serius pada regenerasi dan kesejahteraan petani, ketahanan pangan nasional, serta upaya pengentasan kemiskinan di masa depan.
Hal ini disebabkan karena sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional dan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia.
Problem Calon Petani Muda
Namun, fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa generasi muda cenderung enggan menjadi petani.
Salah satu penyebabnya adalah akses informasi di era digital yang memungkinkan para pemuda mendapatkan pekerjaan atau mengembangkan keterampilan yang menghasilkan pendapatan lebih besar dibandingkan bertani, dengan usaha yang relatif lebih ringan.
Selain itu, para petani dan orang tua dari generasi muda juga melihat bahwa risiko dalam bertani sangat tinggi, seperti gagal panen, kelangkaan pupuk, serangan hama, cuaca yang tidak menentu, dan berbagai tantangan lainnya.
Mayoritas keluarga petani lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang yang tinggi atau hingga menjadi sarjana, sehingga semakin mengurangi kemungkinan generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian.
Situasi ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, generasi Indonesia Emas 2045 membutuhkan sekitar 20–30% petani muda yang pada saat itu berusia di bawah 40 tahun.
Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi secara detail penyebab rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian agar proses regenerasi petani di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Pemerintah perlu mengubah stigma negatif terhadap profesi petani, yang sering dianggap identik dengan pendapatan rendah, ketidakpastian karir, kurang bergengsi, risiko tinggi, serta kebutuhan lahan dan modal yang besar.
Cenderung Pilih Jepang?
Hal-hal inilah yang sering menjadi alasan generasi muda enggan masuk ke sektor pertanian. Namun, ada paradoks menarik di mana banyak pemuda Indonesia justru tertarik untuk belajar dan bekerja di sektor pertanian di negara lain, khususnya Jepang.
Fenomena ini patut menjadi perhatian dan perlu dikaji lebih mendalam untuk memahami apa yang membuat sektor pertanian di luar negeri lebih menarik bagi generasi muda.
Fenomena pemuda Indonesia yang tertarik bekerja di sektor pertanian Jepang, terutama melalui program magang, menunjukkan kontras yang cukup mencolok.
Hal ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi Indonesia tentang bagaimana membuat sektor pertanian lokal lebih menarik dan menjanjikan bagi generasi muda.
Pada Desember 2023, tercatat lebih dari 11 ribu warga negara Indonesia (WNI) bekerja di sektor pertanian Jepang. Maka, ada beberapa faktor yang membuat Negeri Sakura begitu menarik.
Pertama, sistem pertanian modern Jepang dikenal dengan teknologi yang canggih dan sistem yang terorganisir dengan baik.
Pemuda Indonesia yang bekerja di sana mendapatkan pelatihan dan pengalaman dalam menggunakan teknologi mutakhir seperti robotik, sistem irigasi pintar, dan manajemen hasil panen yang efisien.
Kedua, penghargaan yang layak. Profesi petani di Jepang dihargai tinggi, baik secara finansial maupun sosial.
Pendapatan yang diperoleh pekerja magang pertanian di Jepang sering kali lebih besar dibandingkan penghasilan petani di Indonesia, meskipun mereka hanya berstatus magang.
Ketiga, lingkungan kerja yang terstruktur. Jepang menawarkan lingkungan kerja yang disiplin dan teratur, memberikan pengalaman berharga bagi para pemuda.
Mereka tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga budaya kerja yang profesional.
Keempat, modernisasi dan teknologi. Pemerintah perlu mempercepat adopsi teknologi dalam sektor pertanian.
Program pelatihan untuk petani muda dan insentif untuk mengadopsi teknologi baru harus menjadi prioritas utama.
Fenomena banyaknya pemuda Indonesia yang bekerja di sektor pertanian Jepang menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menarik minat generasi muda.
Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih serius terhadap sektor pertanian.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan anggaran untuk sektor pertanian, memberikan insentif bagi petani muda, dan mengembangkan infrastruktur pertanian yang memadai.
Kedua, perlu dilakukan upaya untuk mengubah persepsi masyarakat tentang profesi petani. Petani harus dipandang sebagai pahlawan yang memberikan kontribusi besar bagi ketahanan pangan nasional.
Ketiga, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia, baik dalam hal kualitas maupun harga.
Solusi Pemerintah
Pemerintah perlu merealisasikan program yang mengarah kepada peningkatan minat generasi muda untuk bertani.
Modernisasi pertanian dengan melibatkan teknologi informasi dan digitalisasi pertanian mutlak dilakukan.
Hal ini sebenarnya bukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan minat generasi muda, tetapi juga solusi atas target peningkatan produktivitas pertanian dan harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Dalam jangka panjang, kita perlu membangun sistem pertanian yang berkelanjutan, yang mampu memenuhi kebutuhan pangan generasi sekarang dan mendatang.
Pertanian tidak hanya sekadar menghasilkan produk pangan, tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
Dengan demikian, sektor pertanian dapat menjadi sektor yang menarik bagi generasi muda dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan nasional.
Ketertarikan generasi muda Indonesia terhadap pertanian di Jepang mencerminkan berbagai permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di dalam negeri.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan sektor pertanian.
Dengan demikian, sektor pertanian dapat menjadi sektor yang modern, efisien, dan berkelanjutan. Pemuda Indonesia tidak kekurangan cinta terhadap pertanian.
Namun, mereka membutuhkan sistem yang mendukung dan lingkungan yang kondusif untuk berkembang.
Jepang berhasil menunjukkan bahwa modernisasi, penghargaan, dan pendidikan dapat menjadikan sektor pertanian menarik bagi generasi muda.
Saatnya Indonesia belajar dari pengalaman tersebut dan menciptakan ekosistem yang memungkinkan petani muda untuk bermimpi, tidak hanya di sawah luar negeri, tetapi juga di negeri sendiri. (Red)
*) Penilis: Muhamad Akbar Amanda, Mahasiswa Sains Data, Universitas Insan Cita Indonesia Jakarta