Dongeng Keliling Desa di Bali: Menumbuhkan Literasi Lingkungan dari Pelukan Cerita

SUARAMUDA.NET, DENPASAR — Di pulau yang dikenal dengan keindahan alam, seni, dan budaya—Bali, jejak perubahan iklim mulai terasa.

Hujan yang datang tak menentu, suhu yang semakin panas, dan sampah yang mengalir hingga ke laut menjadi pengingat bahwa bumi sedang membutuhkan perhatian. Dan di tengah tantangan itu, sebuah gerakan literasi lahir dari kesederhanaan: dongeng keliling desa.

Gerakan ini adalah bagian dari tugas Relawan Literasi Masyarakat (Relima), sebuah inisiatif dari Perpustakaan Nasional untuk memperkuat budaya membaca dan memperluas akses literasi ke seluruh pelosok negeri.

Relima bukan hanya tentang buku, tetapi tentang membuka wawasan, menumbuhkan empati, dan menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan nyata.

Di Bali, Relima hadir mendampingi sekolah, desa, dan komunitas agar literasi tumbuh tidak hanya sebagai kemampuan membaca, tetapi sebagai cara berpikir dan bertindak.

Dalam perjalanan literasi lingkungan ini, saya bertemu anak-anak di berbagai desa, duduk di balai banjar, di halaman sekolah, bahkan di bawah pohon besar yang menjadi saksi banyak cerita.

Di sana saya bercerita. Tidak dengan rumus atau istilah ilmiah yang sulit, tetapi dengan bahasa dongeng bahasa yang paling dekat dengan dunia anak-anak.

Saya menjelaskan perubahan iklim dengan sederhana: bahwa bumi seperti tubuh manusia. Jika terlalu panas, ia demam. Jika penuh polusi dan sampah, ia sulit bernapas. Jika pepohonan ditebang, ia kehilangan pelindung seperti manusia kehilangan payung saat hujan.

Melalui tokoh hewan yang kehilangan rumah, laut yang sedih karena sampah, dan angin yang kebingungan karena musim berubah, anak-anak belajar memahami bahwa perubahan iklim bukanlah hal yang jauh, tetapi tentang lingkungan tempat mereka tinggal dan tumbuh.

Setelah dongeng, kami membaca buku bersama. Anak-anak menelusuri halaman demi halaman tentang hutan, laut, pohon, dan kehidupan. Beberapa bertanya banyak hal.

Ada yang mengenang pantai yang kini kotor, ada yang bercerita tentang kebiasaannya menanam. Lalu muncul sebuah suara polos namun tajam: “Kalau bumi sakit, kita juga ikut sakit, kan?”

Pertanyaan itu menjadi inti dari semua perjalanan ini. Relima di Bali terus bergerak, bukan hanya untuk memperkenalkan buku, tetapi untuk menanamkan keyakinan bahwa literasi dapat mengubah cara pandang, dan dari cara pandang lahirlah tindakan.

Kegiatan ini mungkin terlihat sederhana hanya cerita, buku, dan tawa anak-anak. Tetapi dari sana tumbuh sesuatu yang lebih besar.

Karena harapan untuk masa depan bumi tidak hanya lahir di ruang akademik atau forum besar, tetapi juga di tikar kecil tempat anak-anak duduk mendengarkan dongeng.

Program ini juga mendapat dukungan dari Mini Grant Yayasan Partisipasi Muda Indonesia serta CSIS (Centre for Strategic and International Studies), yang mendorong penguatan edukasi lingkungan berbasis komunitas di daerah-daerah yang kaya alam dan budaya seperti Bali.

Dukungan ini menjadi energi tambahan untuk memastikan literasi lingkungan bukan sekadar kegiatan, tetapi gerakan yang hidup, tumbuh, dan menyentuh masa depan.

Di desa-desa Bali, literasi kini bukan hanya jendela dunia tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih hijau, lebih bijak, dan lebih penuh cinta. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like