Oleh: Aisya Herawati, Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Isu mengenai kemampuan bahasa Inggris Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sempat menjadi bahan perdebatan publik selama beberapa bulan terakhir.
Berbagai macam potongan video dan narasi politis yang beredar di media sosial membentuk persepsi bahwa ia tidak kompeten berbicara di forum internasional.
Keraguan itu tumbuh bukan hanya karena konten viral, tetapi juga karena standar publik terhadap pejabat tinggi negara memang semakin tinggi, khususnya ketika menyangkut diplomasi dan komunikasi global.
Namun panggung Indonesia–Africa CEO Forum 2025 yang merupakan bagian dari rangkaian KTT G20, menjadi momen yang menggeser narasi tersebut. Dalam acara tersebut, Gibran menyampaikan pidato yang jelas, terstruktur, dan percaya diri dalam bahasa Inggris.
Pada pidato tersebut wapres yang seringkali mendapatkan hujatan serta diragukan oleh rakyatnya sendiri dapat membuktikan bahwa ia bisa profesional dan layak ketika berbicara di forum internasional.
Bukan sekadar menunjukkan kemampuan linguistik, penampilan itu juga menegaskan kesiapan Indonesia sebagai aktor yang serius dalam memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara Afrika.
Hal yang menarik bukan hanya pada kefasihannya, tetapi bagaimana ia memanfaatkan momentum itu untuk menampilkan sisi kepemimpinan yang sempat diragukan publik.
Pidato tersebut mencerminkan persiapan matang, pemahaman konteks, dan kapasitas komunikasi politik yang selama ini tidak terlihat dalam potongan-potongan video viral.
Hal ini menunjukkan pentingnya menilai pejabat publik secara utuh, bukan hanya melalui fragmen yang sengaja atau tidak sengaja dibingkai untuk melemahkan kredibilitas.
Fenomena ini sekaligus mengajarkan bahwa kritik di ruang digital sering kali bergerak lebih cepat daripada fakta. Literasi publik diuji; apakah kita percaya pada narasi yang dibangun media sosial, atau menunggu bukti nyata di panggung resmi?
Dalam kasus Gibran, fakta di lapangan akhirnya berbicara lebih keras daripada persepsi. Penampilan di forum tersebut membalikkan banyak komentar sinis dan membuka ruang diskusi baru mengenai objektivitas publik dalam menilai kinerja pejabat.
Pada akhirnya, pembuktian Gibran di Indonesia–Africa CEO Forum 2025 bukan hanya kemenangan personal, tetapi juga mencerminkan pentingnya menjaga profesionalisme dalam diplomasi.
Publik tentu berhak mengkritik, tetapi juga perlu memberi ruang bagi pembuktian. Momen ini menjadi pengingat bahwa di era informasi serba cepat, kemampuan untuk melihat gambaran besar menjadi semakin penting.
Gibran telah menunjukkan kelasnya—sekarang tinggal bagaimana publik menyikapi fakta yang utuh, bukan sekadar narasi yang beredar. (Red)