Framing Politik di Media Sosial: Ketika Narasi Mengalahkan Fakta

Oleh: Nur Hasina Wajed, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di era digital seperti saat ini, fakta tidak lagi menjadi hal yang pertama pada ruang publik. Sebaliknya, narasi justru menjadi yang pertama,—-cerita dirangkai sedemikian rupa agar memicu emosi masyarakat dan mengendalikan opininya.

Mereka percaya bahwa apa yang sering muncul di beranda adalah kebenaran tanpa mencari fakta dan klarifikasi.

Fenomena ini sangat jelas di era saat ini. Para aktor politik memahami bahwa masyarakat sekarang lebih digerakkan oleh cerita dibanding data.

Dari situ pula narasi dirancang lewat teknik framing memilih bagian tertentu dari realitas yang dapat memicu emosi masyarakat, dan menonjolkannya, lalu mengamasnya hingga tampak seperti kebenaran yang dapat dipercaya.

Fenomena tambang nikel di Raja Ampat, misalnya, di berbagai platform media sosial di narasikan seolah-olah pemerintah sengaja merusak keindahan Raja Ampat tersebut.

Padahal faktanya hanya satu perusahaan yang masih diberi izin karena jarak tambangnya jauh dari zona geopark dan mencabut empat izin perusahaan karena melanggar aturan.

Kerusakannya memang ada, akan tetapi tidak semua mengalami kerusalan itu. Namun yang terjadi, framing memperbesar konteks dan dinarasikan lebih dramatis.

Masalahnya bukan hanya persaingan politik dan buzzer tapi pengguna media sosial juga ikut memperkuat narasi melalui fitur share dan like.

Orang-orang kemudian membagikan cerita atau narasi yang belum akurat kepada teman terdekatnya atau kelompoknya yang membuat konten itu viral.

Dan disitulah algoritma memperparah keadaan. Ia memprioritaskan konten yang memancing interaksi, dan bukan konten yang paling benar.

Akibatnya media sosial dibanjiri dengan opini yang belum jelas kebenarannya. Perdebatan yang muncul bukan lagi soal apa yang benar tetapi narasi mana yang lebih menarik. Akhirnya, faktapun kehilangan nilai dan digantikan oleh kesan dan statemen.

Maka dari itu ditegaskan bahwa literasi digital bukan lagi sebagai tambahan tetapi kebutuhan dasar, agar masyarakat dapat membedakan mana fakta, framing, dan narasi.

Jika tidak, politik akan terus dikuasai oleh cerita yang paling viral bukan oleh kebenaran yang paling penting. (Red)

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like