Euforia Berakhirnya Darurat Sampah vs Realitas Ekologis Mataram

Oleh: M. Arvid Lars, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Universitas islam Negeri Mataram

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Statemen tentang Mataram “bebas darurat sampah” adalah pencapaian administratif tapi sebenarnya bukan suatu jaminan bahwa masalah lingkungan telah tuntas. Kita jangan sampai terlena akan label ini.

Sebab, produksi sampah harian di Mataram masih sangat besar. Catatan terbaru menunjukkan bahwa kota ini memproduksi sekitar 200 ton sampah per hari, dengan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) hanya mampu mengolah sebagian kecil dari total itu.

Sejumlah kanal dan sungai di Mataram tetap rawan tergenang ketika musim hujan, meskipun status darurat sampah dicabut. Sebagian besar penyebab banjir bukan hanya curah hujan ekstrem, tapi juga pendangkalan sungai dan penyumbatan drainase akibat sampah dan endapan.

Pencabutan status darurat bisa jadi menciptakan rasa aman ‘semu’ di kalangan masyarakat. Padahal, tanpa kebijakan pengelolaan lingkungan komprehensif dan perubahan perilaku publik, risiko banjir, genangan, dan polusi tetap nyata.

Kenyamanan Kota vs Kepentingan Lingkungan Jangka Panjang

Mataram dewasa ini sedang dalam fase pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan fasilitas publik. Tapi di tengah percepatan itu, ada kecenderungan tata ruang dan pengelolaan lingkungan seakan “diabaikan”.

Menurut organisasi lingkungan lokal, banyak sungai dan aliran air di Mataram yang sudah menyempit. Sebagian bahkan dibangun di tepi sungai tanpa penataan tata ruang yang jelas.

Kalau pola ini terus terulang pembangunan vs lingkungan maka “kota bersih” hanya akan menjadi jargon belaka. Di sisi lain, bencana lingkungan, terutama saat hujan atau musim pasang laut, bisa jadi akan lebih sering terjadi.

Peran Warga: Dari Konsumen Pasif Menjadi Pelaku Aktif

Pemerintah bisa (dan harus) memperbaiki sistem TPST, drainase, pengerukan sungai, dan sebagainya. Tapi tanpa kesadaran warga, semua itu bisa jadi sia-sia.

Untuk itu, kita perlu memperhatikan beberapa hal antara lain: pertama, budaya reduce–reuse–recycle (kurangi, gunakan ulang, daur ulang).

Kedua, tidak membuang sampah ke sungai atau saluran air karena itu penyebab utama luapan saat hujan. Ketiga, terlibat aktif dalam komunitas kebersihan dan lingkungan bukan menunggu instruksi pemerintah.

Waktunya Evaluasi: “Bebas Status Darurat” Bukan Akhir

Kalau kita benar-benar peduli, Kota Mataram yang “bebas status darurat” harus dijadikan awal, bukan akhir. Artinya, pemerintah daerah perlu menetapkan target lingkungan jangka panjang dan bukan hanya reaktif terhadap masalah.

Warga Mataram juga harus mengubah pola hidup supaya sampah, banjir, dan polusi tidak terus jadi ancaman setiap musim hujan atau pasang laut.

Tak hanya itu, media dan generasi muda bisa mengawal kebijakan dengan memberi kritik, pengawasan, dan turut serta dalam aksi lingkungan.

Penutup: Mataram Butuh Komitmen Lingkungan, Bukan Sekadar Label

Mataram bisa bangga telah keluar dari status darurat sampah tapi kita jangan berhenti sampai di situ. Kebersihan, ketahanan lingkungan, dan kualitas hidup butuh kerja keras bersama.

Kalau kita hanya puas dengan simbol administratif, tanpa aksi nyata maka suatu saat, “darurat” bisa datang kembali. Dan mungkin lebih besar karena bukan hanya soal sampah, tetapi keselamatan warga, lingkungan, dan masa depan bersama. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like