Oleh: Irwan Hakiki, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap musim penghujan, bencana banjir selalu bertamu dan merendam sebagian besar wilayah Indonesia, mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, NTB, Sumatera dan lainnya.
Hal tersebut dikarenakan hujan ekstrem yang terus mengguyur tanpa henti menyebabkan banjir terjadi berulang kali layaknya prosesi ritual tahunan yang tidak dapat dilewatkan.
Terjadinya bencana tersebut memunculkan tanda tanya besar, apakah hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem dan perubahan iklim semata?
Jawabannya tentu saja tidak, meskipun curah dan intensitas hujan yang tinggi dapat memperbesar potensi banjir, lemahnya kebijakan mitigasi pemerintah menjadi faktor kunci yang tidak dapat terelakkan.
Sebagai bukti, setiap tahun-nya banjir terus melanda tanpa adanya pencegahan serius dari pemerintah. Semuanya selalu berakhir dengan kegiatan bagi-bagi sembako sebagai penanganan darurat tanpa adanya solusi jangka panjang yang diharapkan masyarakat.
Berkaca pada informasi berita dan percakapan di berbagai media, ada beberapa poin yang sering dibahas dan luput dari kebijakan pemerintah. Hal ini karena beberapa hal mendasar.
Pertama, tata ruang yang bermasalah. Ketika kawasan resapan air disulap menjadi perumahan, bantaran sungai terus dipadati bangunan ilegal, serta infrastruktur pengelolaan air (drainase) yang tidak kunjung diperbarui meski angka urbanisasi terus meningkat.
Akibatnya, hukum alam tidak dapat dikendalikan, dan air pun akan mencari jalurnya sendiri. Salah satu contoh kasusnya adalah banjir yang terjadi di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi).
Seperti yang kita ketahui, daerah-daerah tersebut telah menjadi langganan banjir setiap tahunnya dan salah satu faktor penyebabnya adalah pengelolaan tata ruang yang salah.
Kedua, izin pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan. Seperti peristiwa yang saat ini masih hangat diperbincangkan terkait banjir di pulau Sumatera.
Dari banyaknya video yang beredar, terlihat batang kayu berukuran besar yang hanyut secara massif. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, dari mana asalnya?
Sebagaimana yang disampaikan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumatra, diduga batang kayu yang hanyut adalah hasil dari aktivitas eksploitasi lingkungan (pembalakan liar) oleh perusahaan-perusahaan yang ada dikawasan hutan Batang Toru.
Namun mirisnya, perusahaan-perusahaan ini ternyata memiliki legalitas izin. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan audit lingkungan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terkait aturan yang berlaku.
Pemerintah perlu menindak tegas bila terdapat pelanggaran dan melakukan pencabutan izin operasional, apabila aktivitas perusahaan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Ketiga, kebijakan mitigasi pemerintah bersifat jangka pendek dan sebatas seremonial. Salah satu persoalan mengapa banjir terus terjadi adalah karena kebijakan pemerintah lebih fokus pada penanganan darurat daripada pencegahan jangka panjang.
Setelah banjir, pemerintah hanya fokus pada pembagian sembako yang terus berulang, seolah dijadikan ladang untuk pencitraan semata.
Padahal, data cuaca ekstrem dan resiko bencana tersedia, namun pemerintah tak kunjung mengintegrasikan data tersebut kedalam perencanaan tata ruang dan kebijakan mitigasi yang tepat.
Meski kebijakan mitigasi sudah dibuat, akan tetapi hal tersebut sebatas rencana yang hanya terhenti di atas selembar kertas tanpa ditindaklanjuti.
Akibatnya, penertiban bangunan ilegal tidak terlaksana, perbaikan aliran sungai melambat, serta izin pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Jika dilihat dari sisi komunikasi politik, fenomena ini memperlihatkan bagaimana pemerintah mengelola pesan masyarakat dan persepsi publik terhadap kebijakan mitigasi yang lemah.
Saya pribadi melihat bahwa, kebijakan pemerintah lebih memperlihatkan komunikasi pencitraan daripada kebijakan substansial yang seharusnya dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Pemerintah membuat kebijakan, namun itu semua sebatas seremonial yang ditulis diatas kertas. Hal ini menunjukkan inkonsistensi pesan pemerintah yang membuat masyarakat bertanya apakah mereka diperhatikan atau tidak?
Namun, saya menyadari bahwa perubahan tidak bisa hanya mengandalkan kritikan, tapi perlu adanya dorongan kolektif agar pemerintah benar-benar memperbaiki arah mitigasi yang selama ini tidak efektif.
Pemerintah harus berhenti pada sistem kebijakan yang hanya sebatas seremonial, serta perlu melakukan aksi nyata untuk membangun sistem mitigasi yang terstruktur, efektif dan berjangka panjang. (Red)