oleh : Yanuar Aris Budiharto*
SUARAMUDA.NET – Kalah delapan kali berturut-turut. Angka itu bukan sekadar statistik di papan klasemen; ia adalah beban yang menekan dada setiap pemain Persijap Jepara, Laskar Kalinyamat. Apalagi bagi supporter Persijap Jepara, kekalahan itu bagaikan rentetan rasa frustasi atas harapan yang tidak sesuai kenyataan. Itu wajar, karena supporter memiliki perasaan yang sangat emosional. Berita terbaru kian memilukan: tim kesayangan kita kini terdampar di dasar klasemen Liga Super League 2025–2026.
Melihat kondisi ini, mudah sekali untuk menuding, menghakimi, atau bahkan melampiaskan frustrasi. Namun, sebagai komunitas sepak bola yang matang, saatnya kita menarik napas, melihat ke belakang, dan merumuskan perspektif yang lebih edukatif.
Ada benang merah yang menyakitkan dalam perjalanan Persijap: harapan besar yang selalu kandas di tengah jalan ketika ditangani oleh pelatih asing. Fakta membuktikan, jika menilik ke belakang, Persijap—dengan segala hormat—memang belum pernah benar-benar mencicipi sukses yang stabil dan berkelanjutan jika ditangani oleh pelatih asing.
Kita sering kali berpegangan pada nama besar pelatih yang didatangkan, seolah satu nama bisa menyulap segalanya. Tapi, faktanya menunjukkan bahwa magis itu selalu berumur pendek. Mari kita lihat data rekam jejak beberapa nahkoda, yang sayangnya lebih banyak mencatatkan perjuangan ketimbang kejayaan:
| Pelatih (Periode) | Pertandingan (P) | Menang (W) | Seri (D) | Kalah (L) | Catatan Kunci |
| Divaldo Alves (2010) | – | – | – | – | Perjuangan di musim sulit. |
| Raja Isa (2013-2014) | 9 | 0 | 4 | 5 | Mencatat PPP rendah (0,44). |
| Fernando Sales (2017) | – | – | – | – | Dipecat di tengah musim Liga 2. |
| Patrick Ghigani (2018) | – | – | – | – | Pemain-Pelatih di Liga 3/2. |
| Mario Lemos (2025) | 12* | 2 | 2 | 8 | Dipecat setelah 7 kekalahan beruntun. |
*Data P, W, D, L untuk pelatih era 2010-an ke bawah seringkali tidak lengkap di sumber terbuka, namun trennya jelas menunjukkan periode singkat dengan capaian minor. Data Mario Lemos merujuk pada 12 laga hingga pemecatannya.
Apa yang ditunjukkan oleh daftar di atas? Mungkin ini bukan tentang kegagalan individu pelatih, melainkan sinyal bahwa masalah Persijap adalah sistemik—akar persoalannya mungkin lebih dalam, melibatkan manajemen, infrastruktur pembinaan, atau mungkin strategi jangka panjang klub. Kita harus berani melihat realita ini: Persijap seringkali berstatus tim yang berjuang untuk bertahan, bukan tim yang mapan di puncak atau bahkan tengah klasemen di kasta tertinggi liga nasional.
Saya tahu, mengingat euforia pentas Persijap di Liga Super tempo dulu, pasti anda akan mengingatkan pada sosok bernama “Bang Jun” yang di era kepelatihannya kita anggap sebagai era emas Persijap di masanya.
Jika dilihat, saat ini (hampir) semua klub di Liga Super Indonesia dilatih oleh pelatih asing. Maka wajar jika musim ini, Manajemen mengganti pelatih Widodo C.P dengan pelatih asing dengan CV mentereng, tapi sayangnya, kembali lagi, dilihat dari sejarhanya, “tak ada satu pun” pelatih asing yang berhasil mengulang—bahkan mendekati—capaian Bang Jun di era 2008 hingga 2010.
Ini bukan sekadar nostalgia buta, tapi sebuah analisis edukatif tentang apa itu makna “sukses” bagi klub seperti Persijap. Dilihat dari konteks Finansial, saat Bang Jun menukangi Persijap, saat itu di tengah kondisi yang jauh dari ideal. Bahkan, sempat diberitakan bahwa tim hanya mengandalkan dana dari APBD sekitar Rp 5 Miliar untuk mengarungi satu musim kompetisi di kasta tertinggi! Ini adalah modal “kaki telanjang” untuk bertarung di arena yang didominasi tim-tim lain yang super kaya raya.
Permainan yang disuguhkan sebenarnya biasa saja, yang paling saya ingat adalah strategi defensif dan counter attack Bang Jun di babak pertama. Ini adalah cara beliau menjaga ritme permainan dan menentukan akan bermain terbuka atau tidak di babak kedua. Namun beliau sukses membawa Persijap bisa survive di Kasta Tertinggi: Jika diukur dari trofi, memang nihil. Namun, prestasi terbesar Bang Jun adalah mempertahankan Persijap di ISL selama dua musim berturut-turut dengan segala keterbatasan finansial. Di mata klub kecil, bisa bertahan di papan tengah liga utama adalah piala yang paling berharga.
Rekor di Copa Indonesia
Yak, masih di era Bang Jun, Persijap bahkan mencetak sejarah dengan melaju hingga babak Perempat Final Copa Indonesia 2009. Ini adalah pencapaian luar biasa yang menunjukkan bahwa tim ini memiliki fighting spirit dan mental baja untuk menumbangkan lawan dari kasta yang lebih tinggi.
Magis “Bang Jun”: Bukan Taktik, tapi Hati. Apa yang membuat Bang Jun berhasil, sementara deretan pelatih impor gagal? Kuncinya terletak pada dua hal yang edukatif untuk dipahami manajemen dan suporter hari ini:
Pertama, Manajemen Hati (Psychological Ownership): Bang Jun dikenal sebagai sosok yang sederhana, humoris, dan dekat dengan pemain. Ia tinggal di lingkungan sederhana dan menjalin komunikasi intensif. Ia bukan sekadar pelatih taktik, tapi sosok ayah yang memahami kultur lokal dan kondisi psikologis pemain. Ia berhasil menciptakan sense of belonging yang kuat, di mana pemain berjuang bukan hanya untuk gaji, tapi untuk harga diri dan kehormatan kota.
Kedua, Efisiensi dan optimasi DNA Lokal: karena minim dana, komposisi pemain lebih mengandalkan talenta yang haus pembuktian dan memiliki ikatan emosional kuat dengan Jepara. Bang Jun memaksimalkan potensi lokal ini, membuat tim bermain ngotot dan solid. Maka dipilihlah pemain-pemain gaek seperti Nurul Huda, jebolan primavera. Doni Siregar, Enjang Rohiman, pemain-pemain yang haus pembuktikan.
Sahala Saragih adalah salah satu nama pelatih yang berhasil mengukir prestasi konkret dan membanggakan bagi Persijap Jepara di era modern. Ditunjuk sebagai juru taktik pada musim 2019, Sahala langsung dihadapkan pada tugas berat: mengangkat marwah tim yang terdampar di Liga 3.
Berbeda dengan pelatih asing yang dituntut sukses instan di kasta tertinggi, Sahala harus membangun tim dari nol. Hasilnya adalah sebuah kejutan manis: Ia berhasil membawa Laskar Kalinyamat menjadi Juara Liga 3 sekaligus mengamankan tiket promosi ke Liga 2 untuk musim kompetisi berikutnya. Capaian ini bukan hanya sekadar naik kasta, melainkan bukti nyata bahwa pendekatan yang tepat dapat mengembalikan mental juara dan harapan suporter.
Keberhasilan Sahala ini menjadi titik terang bahwa terkadang, prestasi paling signifikan sebuah klub justru datang dari keberhasilan menstabilkan fondasi di kasta bawah, bukan dari perjuangan tanpa hasil di kasta elit. Sahala membuktikan bahwa ia mampu menanamkan semangat militansi dan kolektivitas yang dibutuhkan untuk lolos dari jerat liga amatir yang keras.
Ciri khas permainannya adalah bermain tak-tis dari kaki ke kaki. bukan direct long ball yang menguras tenaga. Sahala seperti telah menghipnotis para pemain untuk bermain bola dengan otak, bukan kaki. Kaki hanyalah alat, tapi otak adalah kunci permainan. Dia sangat disiplin dan selalu berhasil “memprovokasi” pemain agar selalu menuruti strategi yang dia terapkan. Kalau tidak percaya, lihat saja video rekaman permainan klub-klub yang dilatih oleh Coach Sahala. Kalian pasti akan sangat menikmati permainan dan proses terjadinya gol yang diciptakan dari permainan umpan-umpan cantik.
Sahala Saragih, bagi saya pribadi adalah sebuah anomali, karena setahu saya (koreksi jika saya salah) Persijap senior hanya pernah sekali memegang trophy juara, dan itu ada di masanya Coach Sahala saja. Kita hanya berharap Persijap promosi, namun kita diberi gelar juara. that’s really-really awesome. Dan menurut analisa saya, proses di Liga 3 dan Liga 2 jauh lebih sulit daripada bermain di Liga 1. Misalnya seperti; mafia bolanya lebih banyak dan wasitnya agak aneh, hal ini terjadi karena jaman dulu Liga 3 dan Liga 2 jarang atau bahkan tidak disorot media.
Jujur saya pribadi sangat menikmati permainan di era Coach Sahala, ia mengingatkan kembali kepada Coach Junaidi yang hanya bermodalkan pemain muda dan pemain senior yang mulai kehilangan cahaya. Ia memperkuat lini tengah dengan sangat bagus dengan perpaduan; memasang pemain senior yang ingin membuktikan diri bahwa era-nya belum habis seperti Zaenal Arif, dan pemain muda potensial yang butuh menit bermain seperti Rizki Kinyun Hidayat. Ada juga nama penyerang muda Faldi Adestama dan tentu saja ada Harlan Suardi.
In my humble opinion, Coach Junaidi bermain dengan hati, Coach Sahala dengan otak. Ini adalah era sepakbola modern, dimana kecerdasan otak permainan lebih diutamakan daripada bras-bres gabresan soal fisik semata.
Meskipun pada akhirnya Sahala memilih mundur dari kursi kepelatihan pada awal tahun 2020—meski sudah diperpanjang kontraknya untuk Liga 2—karena berbeda visi dengan manajemen. Namun warisannya tetaplah sebuah pencapaian yang jelas dan terukur, yaitu mengembalikan Persijap ke jalur kompetisi yang lebih profesional.
Bagian ini adalah sisi provokatif dari kisah ini: Mengapa kita harus terus mencari pelatih asing mahal jika pelatih lokal dengan manajemen hati terbukti lebih efektif dalam situasi klub yang sederhana?
*Penikmat Sepakbola Nasional, Bukan Exco PSSI