Anakmu Nggak Bodoh, Kamu Aja yang Nggak Paham Potensinya

Ilustrasi anak SD saat pulang sekolah. (Sumber: pinterest.com)

SUARAMUDA, SEMARANG — Musim penerimaan raport itu semacam musim panen buat para orang tua. Ada yang panen pujian, ada yang panen emosi.

Grup-grup WA wali murid mulai dipenuhi chat dengan nada sok kalem, padahal isinya perang terselubung soal ranking dan prestasi.

Tiap anak pulang bawa raport, yang pertama kali dicari biasanya bukan anaknya, tapi ranking-nya. Kalau ranking-nya satu, langsung auto pamer.

Tapi kalau ranking-nya turun, langsung cari kambing hitam: gurunya nggak becus lah, temennya ngajarin hal-hal aneh lah, atau bahkan gadged jadi ikut jadi kambing hitam.

Yang kita lupa adalah satu hal sederhana: raport itu bukan kitab suci.

Pertama-tama, mari kita bahas: raport itu bukan hasil akhir, melainkan progress report. Jadi, kalau anakmu ranking tiga tahun ini, itu bukan berarti dia akan ranking tiga seumur hidup.

Sama halnya kayak kamu yang dulu ranking dua di kelas tapi sekarang masih mikir dua kali kalau disuruh ngatur keuangan rumah tangga. Raport itu catatan proses. Jadi ya dibaca sebagai catatan, bukan vonis hidup.

Kedua, kalau udah nerima raport, tahan dulu hasrat membedah angka-angkanya. Tutup dulu bukunya. Duduk bareng anakmu dan tanya dengan nada santai: “Pelajaran apa yang kamu suka?” atau “Guru siapa yang bikin kamu semangat belajar?”

Dari situ kamu akan paham: nilai anakmu itu nggak datang dari langit. Ada pengaruh emosional, kenyamanan, bahkan chemistry ‘aneh’ antara anak dan guru yang bisa bikin satu pelajaran jadi favorit, dan yang lain jadi musuh ‘bebuyutan’. Belajar itu soal rasa. Dan nilai itu cuma dampak.

Ketiga, saat buka raport, fokuslah pada nilai tertinggi. Bukan karena pengen sombong, tapi karena dari sanalah kamu bisa melihat potensi anakmu.

Mungkin nilainya bagus di Bahasa Indonesia karena dia suka nulis cerita. Atau nilainya bagus di IPS karena dia diam-diam ngikutin podcast politik dan debat di YouTube.

Kalau udah ketemu ‘kekuatan’ anakmu, peluk dia, puji, dan beri tepuk tangan. Bukan tepuk tangan basa-basi, tapi yang tulus. Karena itu bentuk syukur. Anakmu punya anugerah, dan kamu diberi tugas buat mendampingi, bukan menghakimi.

Keempat, baru deh bahas nilai yang ‘jeblok’. Tapi bahasnya jangan kayak sidang skripsi. Tanya aja pelan-pelan: “Kenapa ya nilai pelajaran ini turun?” atau “Menurut kamu, kita bisa bantu dari mana biar semester depan lebih baik?”

Pertanyaan-pertanyaan begini bukan cuma bikin anakmu mikir, tapi juga ngajarin dia satu hal penting: bahwa hidup itu proses perbaikan, bukan soal menang terus.

Kelima, ayo kita bahas topik yang paling bikin darah naik: membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain. Stop! Cukup!

Jangan jadi orang tua kompetitif yang rela ngorbanin mental anak demi gengsi sosial. Anakmu itu bukan calon duta sekolah, dia manusia. Punya tempo, gaya belajar, dan keunikan sendiri. Nggak bisa disama-samain kayak ukuran seragam.

Setiap anak adalah satu-satunya. Bahkan anak kembar aja beda sifat. Jadi tolong, jangan bandingkan anakmu yang suka ngegambar sama anak tetangga yang jago kalkulus.

Keenam, yuk mulai sadar bahwa ranking itu nggak selalu relevan. Dunia ini sudah berubah. Google nggak nanya kamu ranking berapa waktu sekolah.

HRD dan perusahaan Unicorn nggak peduli kamu dulu juara kelas atau langganan remedial. Yang mereka lihat: bisa kerja tim nggak? Bisa mikir logis nggak? Dari otak lu bisa muncul ide-ide ngga? Bisa tahan tekanan nggak?

Anakmu mungkin nggak ranking, tapi dia jago ngulik komputer, atau memiliki public speaking hebat, atau punya empati tinggi. Dan itu, di zaman sekarang, lebih dibutuhkan daripada hafal rumus fisika.

Ketujuh, raport itu bisa diperbaiki. Yang nggak bisa diperbaiki itu kalau semangat anakmu udah patah gara-gara kamu terlalu galak menanggapi angka-angka.

Jangan sampai anakmu tumbuh jadi pribadi minder, yang tiap ngadepin tantangan selalu takut gagal karena dulu gagal itu dihukum, bukan dipeluk.

Terakhir, yuk kita ubah cara pandang kita. Raport bukan arena kompetisi. Raport adalah cermin buat bantu kita ngerti: anak kita ini siapa, sukanya apa, dan perlu dibantu dari sisi mana.

Kalau kamu masih ngotot ranking adalah segalanya, coba kamu liat hidupmu sekarang: udah ranking berapa sebagai orang tua? Nggak ada kan?

Karena hidup bukan perlombaan. Dan anakmu bukan peserta olimpiade yang harus menang biar kamu bahagia.

Raport bukan penentu masa depan. Tapi cara kita menyikapi raport, bisa jadi penentu masa depan anak kita.

Jadi yuk, jika pas raportan, jangan cuma buka raportnya—buka juga hatimu. Jangan cuma periksa nilainya—dengarkan juga isi hati dan kepalanya. Karena kalau bukan orang tuanya yang waras duluan, siapa lagi? (Red)

Penulis: Ali Achmadi

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like