
SUARAMUDA, YOGYAKARTA – Info penting bagi pewisata dan pecinta Malioboro, sekarang kalian tidak bisa lagi parkir di Tempat Parkir Abu Bakar Ali (ABA).
Pasalnya, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY tengah merancang perubahan signifikan di kawasan pusat kota.
Lahan bekas Tempat Parkir Khusus (TKP) Abu Bakar Ali (ABA), yang selama ini menjadi kantung parkir kendaraan wisatawan, akan diubah menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menjaga Bangunan Warisan Budaya
Transformasi ini bukan hanya soal estetika ruang kota, melainkan bagian dari upaya besar menjaga warisan budaya dan lingkungan di kawasan Sumbu Filosofi, yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia.
Dikutip dari Tribun Jogja, Jumat (18/4/2025), Kepala DLHK DIY, Kusno Wibowo, mengatakan kawasan eks TKP ABA menjadi salah satu lokasi yang diidentifikasi sebagai titik strategis dalam pengembangan Sumbu Filosofi sebagai kawasan budaya yang berkelanjutan.
DLHK telah memulai penyusunan perencanaan dasar pada 2024, dan tahun ini akan menjadi titik awal penting untuk memulai tahapan perancangan teknis.
“Kami dari DLHK DIY, pada tahun kemarin, baru menyusun rencana terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) di eks Parkir ABA, kawasan Sumbu Filosofi, ini sebagai bagian dari upaya untuk menunjang pengembangan kawasan Sumbu Filosofi yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia,” ujar Kusno, Kamis (17/4/2025).
Hingga pertengahan April ini, DLHK masih berada pada tahap identifikasi dan pendetailan konsep rancangan lahan.
Penyusunan Detail Engineering Design (DED) direncanakan akan diajukan melalui skema perubahan anggaran Dana Keistimewaan (DAIS) tahun 2025.
“Kita usulkan dulu, kita awali dengan DED-nya di tahun ini, pada perubahan anggaran pertama, sekitar April–Mei, mudah-mudahan sudah selesai. Setelah DED-nya selesai disusun, baru nanti kita lihat kemungkinan pembangunan fisiknya. Apakah tahun ini bisa nyandak, atau mungkin tahun 2026,” jelas Kusno.
Diubah Jadi Taman
Ruang Terbuka Hijau yang dirancang di lahan seluas kurang lebih 7.000 meter persegi ini tidak hanya akan menjadi kawasan hijau biasa.
Dalam rancangannya, DLHK merumuskan fungsi ekologis, sosial, kultural, dan edukatif dalam satu kesatuan ruang yang merepresentasikan keistimewaan Yogyakarta.
RTH ini dirancang sebagai penanda kawasan budaya sekaligus ruang hidup bagi manusia dan satwa lokal.
“RTH ini nantinya juga akan menjadi salah satu penanda keistimewaan Yogyakarta, sekaligus sebagai bagian dari kawasan Warisan Budaya Dunia. Fungsi lainnya yaitu sebagai penyeimbang iklim mikro—karena di dalamnya juga akan ada zona alam—dan sebagai ruang interaksi, ruang rekreatif yang inklusif dan ramah anak,” papar Kusno.
Rencananya, kawasan akan dibagi ke dalam tiga zona utama: zona publik, zona sosial, dan zona alam.
Kawasan ini dirancang untuk dapat menampung hingga seribu pengunjung dalam kondisi penuh, dengan tutupan hijau ditargetkan mencapai 50 hingga 55 persen dari total area.
Salah satu aspek penting dari rancangan ini adalah pelestarian biodiversitas kawasan.
DLHK telah mengidentifikasi keberadaan satwa lokal, terutama burung, yang selama ini hidup di sepanjang Sumbu Filosofi.
Oleh sebab itu, vegetasi yang ditanam tidak hanya ditujukan untuk keindahan lanskap, tetapi juga sebagai habitat yang layak bagi fauna endemik.
“Kami sudah mengidentifikasi bahwa di kawasan Sumbu Filosofi ini ada beberapa jenis satwa, terutama burung, yang memerlukan habitat. Nah, pohon-pohon besar itu penting sebagai tempat hidup mereka,” kata Kusno.
Jenis pohon yang akan ditanam pun tidak sembarangan. DLHK berencana memilih tanaman endemik Yogyakarta dan spesies yang memiliki nilai filosofi, sejalan dengan karakter budaya kawasan.
Pemilihan vegetasi tersebut akan dimasukkan dalam penyusunan DED dan akan menjadi bagian penting dari narasi desain kawasan.
“Oh iya, tentu. Nantinya akan direncanakan ada tanaman endemik khas Yogyakarta atau pohon-pohon yang memiliki nilai filosofis. Itu akan masuk dalam DED dan menjadi bagian dari konsep desain vegetasinya,” tambahnya.
Perizinan Kekancingan dan Relokasi Parkir
Pengalihan fungsi lahan dari TKP menjadi RTH memerlukan proses legalitas baru.
Sebelumnya, lahan tersebut disewakan kepada CV ABA Yogyakarta sejak 2022 dan digunakan sebagai tempat parkir wisata dengan sistem perjanjian sewa yang diperpanjang setiap tahun.
Pada 2025, kontrak sewa pengelolaan aset TKP ABA di perpanjangan sampai 28 April 2025.
Proses kekancingan ulang tersebut melibatkan pengukuran teknis oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPTR) serta persetujuan dari pihak Kraton Ngayogyakarta sebagai pemilik lahan.
Sementara itu, bangunan knock down dari eks TKP ABA akan dipindahkan ke TKP Ketandan.
Fungsi parkir juga dialihkan ke sejumlah titik lain seperti Ngabean, Senopati, dan Terminal Giwangan yang dirancang menjadi terminal wisata terpadu.
Seluruh proses perancangan dan pembangunan RTH ini direncanakan menggunakan Dana Keistimewaan.
Namun, Kusno menyebut besaran anggaran yang dibutuhkan belum dapat dipastikan sebelum DED rampung.
“Soal besaran anggaran, nanti akan disesuaikan dengan hasil DED-nya. Jadi kami belum bisa menyebut angka pasti sekarang, karena itu tergantung hasil perhitungan teknis DED. Supaya tidak menimbulkan perbedaan data atau informasi keliru, lebih baik nanti menunggu hasilnya,” tandasnya. (Red)
Sumber: Tribun Jogja