Mungkin Akan Dikenang dalam Sepanjang Hidupnya, 4 Mahasiswa UIN Kalijaga ini Sukses Gugat MK Soal Ambang Batas

Jajaran pimpinan MK penghapus presidential threshold sebesar 20 persen/ gambar: Jawa Pos

SUARAMUDA, SEMARANG — Di balik penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, rupanya ada aksi 4 mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, mahasiswa yang terdiri atas Enika, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna sukses mengajukan gugatan terkait ambang batas (presidential threshold).

Melansir Antara, sebelumnya pernah digugat 27 kali. Namun kini, MK akhirnya mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dan tiga orang lainnya dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, hari ini Kamis (1/2/2025).

Mahasiswa Pemerhati Konstitusi

Dikutip di laman resmi UIN Sunan Kalijaga, empat mahasiswa ini merupakan anggota dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), lembaga otonom mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum.

Enika merupakan warga Desa Telaga Baru, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Temannya, Rizki Maulana adalah warga Kelurahan Sukaresik, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Faisal Nasirul Haq memiliki tempat tinggal di Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sedangkan Tsalis Khoirul Fatna merupakan warga Bumisegoro, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Dikabarkan CNN, keempat penggugat ini mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu terkait keberadaan presidential threshold.

Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon sehingga hak para pemohon untuk memilih presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.

Mereka juga menganggap prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.

Empat mahasiswa ini mengatakan idealnya suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan.

Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.

Putusan menghapus kebijakan presidential threshold dalam UU Pemilu oleh MK ini menjadi pertama kalinya usai putusan sebelumnya kerap ditolak MK. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like