
oleh : Andri Rahman*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Fenomena sosial yang kita saksikan di tengah kebingungan kabinet Prabowo-Gibran dalam menuntaskan janji makan siang gratis bisa dikatakan sebagai cermin nyata dari perbedaan antara ambisi besar politik dengan gerakan sosial yang berasal dari hati nurani masyarakat.
Seperti yang kita tahu, janji makan siang gratis menjadi salah satu andalan dalam kampanye Pilpres 2024 yang lalu.
Namun, setelah berbulan-bulan berlalu, masalah anggaran yang terus mengalami tarik ulur dan penurunan drastis dari 15 ribu rupiah menjadi hanya 7500 rupiah menjadi refleksi betapa sulitnya realisasi janji besar yang diemban oleh para pemimpin tersebut.
Namun, di sisi lain, di berbagai sudut kota yang jauh dari hiruk-pikuk politik dan sorotan media, terdapat kisah lain yang jauh lebih menyentuh.
Di pojok-pojok jalan, masyarakat sipil, tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah atau mendapat publikasi besar, sudah lebih dulu mengambil langkah nyata.
Gerakan Nyata Masyarakat
Mereka mendirikan posko-posko makan yang tidak hanya menyediakan makan gratis, tetapi juga memberi kebebasan bagi siapa saja untuk makan sepuasnya, dengan menggunakan dana yang dikumpulkan dari uang pribadi atau hasil patungan masyarakat.
Fenomena ini membuka mata kita akan kontradiksi yang terjadi antara “mulut besar” dari para pemimpin negara dan “tangan-tangan ikhlas” yang beroperasi dalam lingkup kecil masyarakat.
Janji makan siang gratis, meskipun dimulai dengan niat baik, ternyata menemui berbagai hambatan administratif, mulai dari anggaran yang tak kunjung jelas hingga prioritas alokasi dana yang tumpang tindih.
Sedangkan di lapangan, mereka yang tak terikat oleh birokrasi dan ketentuan anggaran justru lebih cepat dan lebih efisien dalam memberikan bantuan nyata kepada mereka yang membutuhkan.
Ini bukan hanya soal perbedaan dalam cara mendistribusikan bantuan, tetapi juga soal nilai yang terkandung dalam setiap tindakan.
Sementara pemerintah terkadang terjebak dalam lingkaran birokrasi yang lambat, masyarakat sipil justru bergerak dengan prinsip “action over words”, dengan mengedepankan keikhlasan dan semangat gotong-royong.
Kekuatan Masyarakat
Menariknya, fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan dalam implementasi kebijakan publik, tetapi juga menggambarkan kekuatan masyarakat dalam menciptakan perubahan.
Ketika pemerintah kesulitan memenuhi janji politik mereka, masyarakat sipil justru menunjukkan kepedulian yang lebih tulus. Ini adalah cerminan nyata dari peran penting civil society dalam menjaga keseimbangan sosial, terutama dalam hal pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Sebagai masyarakat, kita bisa belajar banyak dari gerakan-gerakan ini. Meskipun pemimpin besar mengumbar janji, keberhasilan nyata sering kali datang dari inisiatif sederhana yang muncul dari bawah.
Masyarakat sipil, dengan segala keterbatasannya, mampu memberikan contoh bagaimana solidaritas, kepedulian, dan keikhlasan dapat menghadirkan perubahan yang lebih cepat dan lebih menyentuh hati.
Fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, meskipun janji besar sering kali terhambat oleh kebijakan dan birokrasi, kekuatan terbesar untuk memecahkan masalah ada pada kolaborasi antara pemerintah yang bertanggung jawab dan masyarakat yang penuh empati.
Mungkin inilah saatnya untuk mengevaluasi kembali bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat bekerja lebih dekat, dengan saling melengkapi, bukan saling menunggu atau menuntut. (Red)
*) Andri Rahman, mahasiswa Magister Pendidikan IPS, FISIP, Universitas Negeri Semarang