
SUARAMUDA, SEMARANG – Dua fenomena kasus korupsi terbaru yang banyak menyedot perhatian publik adalah majelis hakim yang memutuskan terdakwa korupsi timah Harvey Moeis, dengan vonis pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan.
Harvey adalah perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) tersangkut kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022 lalu (suaramuda.net, 24/12/2024).
Dan paling terkini, KPK menetapkan Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dugaan suap terhadap KPU Wahyu Setiawan. Berdasarkan Kompas (24/12/2024), Hasto bersama orang kepercayaannya terlibat suap oleh tersangka Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan
Dua korupsi terbaru yang terjadi di negeri ini merupakan contoh dari pelbagai maraknya kasus korupsi di Indonesia. Korupsi benar-benar menjadi problem terbesar yang sedang dihadapi bangsa ini. Mereka secara ilegal telah menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan.
Korupsi, kini, bahkan seakan sudah dianggap menjadi budaya yang sulit diberantas. Banyak yang beranggapan korupsi adalah sesuatu yang sudah “biasa” karena sudah mengakar dari masyarakat golongan bawah hingga yang memiliki jabatan tinggi di negara. Lalu mengapa kasus korupsi ini terus berulang?
Terlepas dari upaya pemerintah dan masyarakat, korupsi seakan menjadi budaya patronase yang dilakukan hanya untuk menyenangkan hati atasan. Meski apa yang dilakukannya bertentangan dengan nilai, namun sikap tunduk pada atasan inilah yang melanggengkan korupsi hingga saat ini.
Kurang optimalnya pendidikan anti korupsi bisa jadi memperparah praktik-praktik korupsi. Di lingkungan masyarakat, misalnya, sering kita temui seperti kasus suap kecil-kecilan ketika pengguna jasa memberikan imbalan kepada petugas layanan agar urusan mereka cepat selesai.
Lalu, kasus korupsi terus berulang akibat hukuman yang tidak memberikan efek jera. Bahkan terpidana dengan kasus ratusan miliar hingga triliun yang telah merugikan begitu banyak pihak hanya berakhir dengan hukuman sangat ringan.
Itupun nantinya masih mendapat pemotongan masa tahanan dan juga difasilitasi dengan mewah. Penegakan hukum yang timpang dan cenderung tidak adil inilah yang kemudian menhadirkan persepsi bahwa ‘korupsi adalah kejahatan yang menguntungkan’. Ironis!
Apa dampak terhadap masyarakat miskin?
Masyarakat miskin dalam hal ini adalah kelompok yang paling berdampak dari kasus korupsi. Sebab, mereka adalah pihak yang paling bergantung pada layanan publik dan program sosial yang dibiayai oleh anggaran negara. Jika koruptor menyalahgunakan anggaran yang seharusnya disalurkan untuk masyarakat, maka mereka akan kehilangan hak-hak dasarnya.
Dalam banyak kasus yang sering terdengar ditelinga kita, banyak bantuan yang dikurangi atau bahkan tidak disalurkan oleh oknum yang terlibat dalam distribusi. Selain itu, sering pula terjadi manipulasi data yang lagi-lagi masyarakatlah yang terkena imbasnya
Kemudian dampak lain yang dirasakan ialah pembangunan yang berfokus pada daerah yang hanya menguntungkan bagi pejabat atau pengusaha. Sementara daerah miskin tetap terpinggirkan, sehingga hal ini semakin membuat lingkaran kemiskinan semakin sulit diputus.
Upaya pemberantasan korupsi memang menjadi perjuangan panjang yang selalu dihadapkan dengan berbagai rintangan. Meskipun banyak langkah yang telah dilakukan, namun keberhasilannya pun perlu dipertanyakan. Justru tak sedikit: “zonk! ”
Langkah pencegahan
Tak bisa dibantah, pemerintah sebenarnya telah membentuk lembaga penanganan korupsi seperti KPK, BPK, kepolisian dan kejaksaan. Namun semua itu tentunya tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Misalnya lewat UU No.13 Tahun 1999 tentang pemberantasam tindak pidana korupsi, masyarakat dapat melakukan pelaporan online.
Untuk membentuk masyarakat yang peka terhadap kasus korupsi pemerintah penting melakukan optimalisasi pendidikan anti korupsi mulai dari tingkat sekolah dasar, yang bertujuan untuk menanamkan nilai integritas. Perlu juga pemerintah menggelar kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi.
Pencegahan korupsi ini bertujuan untuk menghilangkan akar penyebab korupsi agar tidak terus berlanjut dimasa depan—yang langkah pencegahannya juga bisa dimulai dari peran keluarga dan lingkungan. Dimana, orang tua mengambil peran penting melatih kejujuran dan tidak mengambil sesuatu yang bukan hak mereka.
Kemudian untuk lingkup yang lebih tinggi, ditekankan pada pegawai negeri maupun aparat publik untuk mendapati pelatihan khusus untuk membangun kesadaran akan dampak buruk korupsi. Perlu juga dilakukan audit independen, yakni audit yang dilakukan oleh lembaga seperti BPK, BPKP—untuk memastikan tidak adanya kesalahan penyalahgunaan anggaran.
Selain itu, penting juga dilakukan pelaporan keuangan secara transparan yakni dengan memberi ruang untuk memantau penggunaan anggaran di tingkat pusat maupun daerah.
Peran generasi muda?
Sebagai agen perubahan, generasi muda sudah sepatutnya memiliki potensi untuk menciptakan budaya anti korupsi dan mendorong perubahan integritas yang bermanfaat.
Generasi muda dapat memulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari hari, seperti menghindari perilaku curang, tidak menyontek dalam ujian, tidak memalsukan dokumen, dan tidak memberi uang pelican saat pengurusan administrasi.
Sesungguhnya, penanaman nilai-nilai kejujuran telah menjadi langkah awal dalam membangun budaya anti korupsi. Generasi muda juga harus menjadi contoh untuk menolak politik uang yang merupakan salah satu akar korupsi yang seringkali viral dalam setiap kali digelar pemilu.
Sebagai generasi yang ‘melek’ teknologi, generasi muda juga dapat memanfaatkan perkembangan teknologi (gadget) untuk melaporkan dugaan korupsi atau penyalahgunaan wewenang secara langsung kepada tanpa takut terungkap identitasnya.
Di sisi lain pemerintah juga bisa melakukan terobosan penting, salah satunya dengan pemanfaatan platform aplikasi online yang memungkinkan adanya transparansi data keuangan—yang mana data setiap transaksi dicatat secara permanen.
Sehingga, tidak ada celah untuk melakukan manipulasi atau penggelapan dana. Selain itu, pihak yang berkepentingan juga dapat memantau distribusi anggaran proyek secara real time.
Praktik korupsi ini bisa saja terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya integritas di lapisan masyarakat. Korupsi juga memperburuk ketimpangan sosial dan menghambat pengentasan kemiskinan. Oleh karenanya, pencegahan korupsi harus dilakukan sedini mungkin melalui Pendidikan integritas.
Namun ini bukan hanya tanggung jawab individu atau satu lembaga melainkan tugas bersama untuk membentuk bangsa yang lebih baik. (Red)
*) Penulis: Gia Hari Fitri, mahasiswa Universitas Baiturrahmah, Padang, Sumatera Barat.
**) Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, dan bukan menjadi tanggungjawab redaksi suaramuda.net
***) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Integritas dan Anti Korupsi, Dosen Pengampu Andri Rusta, S.IP, M.PP