
Oleh: Nur Fitri Haryati Dewi dan Ananda Tasya*)
SUARAMUDA, SEMARANG –Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai keberagaman dan kebebasan beragama, masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan toleransi beragama yang sejati.
Salah satu kasus yang terus menjadi perhatian adalah diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah—sebuah kelompok minoritas dalam Islam yang sering kali menjadi sasaran persekusi, baik oleh masyarakat maupun kebijakan pemerintah di beberapa daerah.
Komunitas Ahmadiyah memiliki keyakinan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam arus utama di Indonesia. Perbedaan ini kerap menjadi alasan bagi sebagian kelompok untuk menyudutkan mereka.
Diskriminasi yang dialami komunitas ini meliputi pelarangan tempat ibadah, pengusiran, kekerasan fisik, hingga tindakan intoleransi yang mengancam hak asasi mereka.
Studi Kasus di Banten & NTT
Salah satu insiden tragis terjadi di Cikeusik, Banten, pada tahun 2011. Dalam peristiwa itu, serangan brutal terhadap anggota Ahmadiyah menyebabkan tiga orang meninggal dunia.
Serangan ini dilakukan oleh sekelompok massa yang menolak keberadaan komunitas tersebut di wilayah mereka.
Meskipun insiden ini menarik perhatian nasional dan internasional, hukuman terhadap pelaku dinilai sangat ringan, sehingga menimbulkan kritik terhadap lemahnya penegakan hukum.
Diskriminasi juga terlihat dalam kasus pengusiran warga Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2022.
Puluhan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena tekanan dari masyarakat lokal yang tidak menerima kehadiran mereka.
Hingga saat ini, banyak dari mereka masih tinggal di tempat pengungsian tanpa jaminan perlindungan atau kejelasan kapan mereka bisa kembali ke kehidupan normal.
Diskriminasi?
Pelarangan tempat ibadah juga menjadi bentuk lain dari diskriminasi. Di beberapa wilayah, masjid-masjid Ahmadiyah disegel oleh pihak berwenang karena dianggap melanggar peraturan, meskipun komunitas tersebut telah memenuhi syarat hukum untuk membangun tempat ibadah. Hal ini menunjukkan adanya bias dalam penerapan aturan terhadap kelompok minoritas.
Penyebab utama diskriminasi ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya toleransi beragama.
Sebagian besar tindakan diskriminasi dipicu oleh sikap intoleransi yang diperkuat oleh pandangan dari kelompok tertentu yang menganggap keyakinan Ahmadiyah sebagai ancaman.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum sering kali membuat pelaku merasa kebal terhadap konsekuensi hukum, sehingga diskriminasi terus terjadi.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah konkret perlu diambil. Pemerintah harus memastikan perlindungan yang setara bagi semua warga negara, tanpa memandang keyakinan mereka.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku diskriminasi juga menjadi kunci untuk memberikan rasa aman kepada kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.
Selain itu, pendidikan toleransi beragama perlu ditanamkan sejak dini, agar masyarakat lebih memahami pentingnya menghormati perbedaan.
Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin bahwa hak-hak setiap warganya dihormati, termasuk hak untuk memeluk agama dan keyakinan sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah tidak hanya melanggar prinsip-prinsip HAM, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keberagaman yang menjadi identitas bangsa.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi sipil, diharapkan diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah dapat dihentikan, sehingga Indonesia benar-benar menjadi rumah yang damai bagi semua orang, tanpa terkecuali. (Red)
*) Penulis : Nur Fitri Haryati Dewi dan Ananda Tasya, Mahasiswa Sistem informasi, Fakultas Ilmu komputer, Universitas Pamulang