Eceng Gondok dan Sampah di Sungai, Potret Keindahan Semu

Sumber ilustrasi / pinterest

Oleh: Septi Melinda Putri*)

SUARAMUDA, KOTA SEMARANG – Ketika kita melihat sungai yang dipenuhi eceng gondok, sekilas terlihat seperti oase hijau yang menyejukkan.

Namun ironinya, eceng gondok adalah tanda degralasi ekosistem udara ditambah lagi dengan tumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai.

Eceng gondok hijau tidak lagi melambangkan kehidupan akan tetapi sebuah paradoks tentang kerusakan perairan di lingkungan kita. Lalu, eceng gondok simbol kesuburan atau menjadi masalah ekologis?

Eceng gondok dikenal sebagai tanaman udara yang tumbuh subur, bahkan di perairan yang tercemar. Kemampuan tumbuh cepat ini justru malah menjadi masalah besar.

Ketika sungai dipenuhi nutrisi lebih dari limbah domestik atau pertanian, eceng gondok akan berkembang biak secara tidak terkendali, menutupi permukaan udara.

Imbasnya, oksigen jadi berkurang serta mengganggu aktivitas manusia yang bergantung pada sungai.

Potret Sampah Sungai yang “Hijau”

Fenomena berkembang-biaknya eceng gondok juga diperparah oleh ragam sampah baik plastik, limbah organik hingga bahan berbahaya lainnya yang menciptakan pemandangan yang kontras dengan warna hijau eceng gondok.

Sampah yang kemudian menumpuk itu tidak hanya menghalangi aliran udara tapi juga menjadi tempat berkembangnya penyakit.

Upaya pembersihan sering dilakukan akan tetapi tanpa kesadaran kolektif sampah kembali menumpuk lagi dan menciptakan siklus yang tak berujung.

Problem eceng gondok dan sampah di sungai menjadi tantangan makin besar. Sampah yang terperangkap di antara tanaman air ini menciptakan lingkungan ideal untuk berkembangnya nyamuk dan mikkroorganisme penyebab penyakit.

Aliran sungai pun tersumbat dan ancaman banjir menjadi ‘momok’ bagi masyarakat sekitar.

Pasal 12 UUPPLH menyebutkan bahwa pemerintah wajib menyusun rencana pengelolaan lingkungan hidup yang mencakup perlindungan, pemulihan, dan pengelolaan sumber daya udara.

Pemerintahan daerah memiliki tanggung jawab yaitu untuk menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai.

Sehingga, masyarakat tidak lagi membuang sampah ke sungai, mengawasi pengelolaan limbah cair industri sehingga tidak memicu pertumbuhan eceng gondok yng tidak terkendali.

Pasal 19 menekankan pentingnya penetapan baku mutu lingkungan termasuk baku mutu air sungai untuk mencegah pencemaran yang lebih parah. Pelanggaran terhadap baku mutu dapat dikenakan sanksi sesuai dengan pasak 98 hingga pasalm103.

Eceng Gondok Solusi atau Beban?

Meski dianggap sebagai gulma, eceng gondok juga memiliki potensi sebagai solusi. Keberadaannya bisa digunakan dan dimanfaatkan sebagai biogas, pupuk organik, hingga bahan baku kerajian.

Namun, pengelolaannya membutuhkan pendekatan yang terintegritas dan berkelanjutan.

Sayangnya, dalam praktiknya, manfaat eceng gondok sering kali tertutupi oleh dampak negatifnya yang lebih besar, tanpa adanya upaya untuk mengendalikan pertumbuhannya. Eceng gondok bahkan tetap dicap sebagai ancaman bagi ekosistem sungai.

Keberadaan eceng gondok dan sampah di sungai kita mencerminkan tingkat keadaran masyarakat terhadap lingkungan.

Sungai yang kotor tidak hanya menyajikan masalah estetika, tetapi juga menunjukkan pola hidup yang kurang bertanggung jawab.

Ketika masyarakat membuang sampah sembarangan atau membiarkan limbah rumah tangga masuk ke sungai, mereka secara tidak langsung mempercepat degradasi sungai sebagai sumber kehidupan.

Masalah ini juga mengungkapkan ketimpangan dalam pengelolaan lingkungan.

Di satu sisi masyarakat kelas bawah yang tinggal di bantaran sungai sering kali menjadi korban pencemaran yang dilakukan oleh pihak lain seperti indusstri atau penduduk kota yang membuang limbah ke sungai.

Di sisi lain, mereka juga menjadi pelaku pencemaran karena kurangnya akses terhadap failitas pengelolaan limbah yang mampu.

Melampaui Ironi

Ironi hijau dari eceng gondok dan sampah di sungai kita adalah pengingat bahwa perubahan harus dimulai dari hulu ke hilir.

Upaya pencegahan pencemaran, pengelolaan limbah yang baik, dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga sungai harus menjadi prioritas.

Pemanfaatan eceng gondok sebagai sumber alternatif bisa menjadi solusi inovatif yang mengubah masalah menjadi manfaat.

Dengan adanya langkah ini, warna hijau di sungai kita bisa kembali menjadi lambang kehidupan yang sehat dan berkelanjutan, bukan hanya sekedar ironi dari krisis lingkungan.

Pada akhirnya, masalah eceng gondok dan sampah di sungi kita adalah cerminan dari hubungan manusia dengan alam.

Jika kita ingin sungai kita kembali menjadi sumber kehidupan dan bukan tempat pembuangan, maka sudah saatnya kita malampaui ironi hijau ini dengan tindakan nyata.

Hijau yang kita lihat di sungai harus Kembali menjadi simbol Kesehatan dan berkelanjutan, bukan hanya paradoks dari krisis lingkungan yang semakin memburuk.

Kita perlu kembali menghayati, UUPPLH Pasal 70 yang menyebutkan: “masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup”.

Hal ini berarti komunitas lokal yang tinggal di sekitar sungai dapat dilibatkan dalam program-progam pengelolaan sampah, pengendalian eceng gondok, hingga edukasi untuk meningkatkan kesadran tentang pentingnya menjaga sungai.

Kita juga patut memahami melalui mekanisme pemulihan lingkungan yang diatur dalam pasal 53 UUPPLH, yakni dengan cara pembersihan sungai, pengelolaan ulang limbah domestik dan industri, restorasi ekosistem sungai. (Red)

*) Septi Melinda Putri, mahasiswa Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

**) Isi artikel di atas bukan merupakan pandangan media suaramuda.net

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like