
Oleh: Sururi Nurullah *)
SUARAMUDA — Kebanyakan mahasiswa sekarang memandang ngopi hanya sebatas sarana nongkrong di cafe saja. Tidak sekalipun mereka pernah memperdulikan subtansi ngopinya untuk apa, serta dalam rangka apa.
Malah mayoritas mahasiswa masa kini asyik dengan ‘trend’ ngopi di cafe; meski hanya sebatas nge-game, pacaran, ghibah, dan lain sebagainya yang unfaedah. Sungguh begitu memilukan bagi saya pribadi.
Sebelum menyayangkan realitas saat ini, saya menginginkan kebiasaan “ngopi” tempo lalu hadir saat ini. Hal itu karena tak sedikit nilai positif dari “ngopi” itu sendiri. Sebab tanpa “ngopi”, orang dulu akan terus terjerembab terhadap kubangan kerugian besar dikehidupannya.
Curhatan Guru Tarikat Shadiliyah
Seorang Guru Tarikat Shadiliyah, Abdul Ghaffar, menulis curhatan pribadinya dalam sebuah buku. Ia mengungkapkan kalau di negeri Ethiopia setiap malam Senin dan Jumat mayoritas masyarakatnya menggelar tradisi ngopi. Namun bukan ngopi buat asyik-asyikan, tapi dalam rangka bermunajat kepada Tuhan: “Usai menyeruput kopi, mereka mengucapkan “La illaha il’ Allah”.
Kebiasaan ngopi di Ethiopia sama persis dengan kebiasaan orang-orang di daerah Yaman. Para kaum sufi di sana ngopi bersama demi membaca Ratib sebanyak 1661 kali di waktu malam. Dikatakan, semua itu mereka lakukan demi mendekatkan diri kepada Tuhannya: Tuhan Yang Maha Esa.
Secangkir kopi membuat orang akan terus terjaga, dijadikan sarana penangkal ngantuk demi melakukan tindakan munajat. Hal itu disebabkan adanya stereotip orang dulu yang menyakini kalau tidur mempercepat kematian. Karena waktu akan terus berjalan maju tanpa ada jeda maupun reeplay. Sedangkan secara logika, sungguh sesuai sampai sekarang.
Masih dalam perihal kopi, mereka bukan saja melihat akan manfaat penangkal rasa ngantuk. Tapi disebutkan ada juga manfaat lain di dalam segelas kopi. Kopi dikatakan sebagai salah satu minuman penghantar rileksnya pikiran.
Sebagaimana hasil dari penelitian di American University. Dalam jurnalnya, peneliti mengungkapkan bahwa, di dalam kopi ada zat perangsang rasa bahagia sekaligus percaya diri. Hal itu dipicu oleh zat cafein di mana bisa membantu produksi hormon serotin dan dapamine dalam otak manusia.
Lantas apa korelasi orang ngopi kemudian dapat berpikir dengan jernih?
Sebagian orang ada yang percaya, sehabis ngopi pikiran seseorang bisa langsung jernih. Hal bisa jadi karena tiada lagi ‘unek-unek’ yang membebani akal pikiran selepas ngopi. Semua isi kepala telah ditumpahkan saat-saat “Ngopi Time”.
Dengan ngopi otak seseorang kemudian bisa bekerja secara teratur, mulai dari mengingat, mengoreksi, dan menerka masa depan. Sehingga darinya, cakrawala pengetahuan terbuka satu persatu demi memperbaiki hidup yang akan datang.
Ngopi ala Soekarno
Sebagaimana berbagai literatur yang sempat saya baca di berbagai buku dan media, kalau sesungguhnya sang bapak bangsa juga pencinta kopi. Dirinya seakan tidak pernah lepas dari minuman hitam pahit ini. Racikan satu sendok bubuk kopi dengan setengah sendok teh untuk takaran gulanya, tidak pernah alpa tiap pagi.
Ir. Soekarno membiasakan hal demikian bukan tanpa alasan. Ia merasakan bahwa dengan ngopi pagi, ialah sarana bagi dirinya agar bisa lebih fokus lagi terhadap pekerjaannya sebagai presiden. Sebab ia tahu betul, kalau berbagai keputusan ada di tangannya. Lantas darinya, jika salah sedikit saja, maka bisa runyam satu negara.
Begitulah subtansi ngopi zaman dahulu. Orang dulu ngopi bukan untuk perkara tren atau hanya untuk asyik-asyikan, tapi demi spiritualitas dan spirit nasionalisme. Lalu pertanyaannya sekarang, “bisakah kita kembali demi semua subtansi tersebut?”
Sungguh negara kita sekarang tidak lagi baik-baik saja kawan! Perkataan Silfester dalam acara “Rakyat Bersuara” patut sekali diragukan. Sebab kita semua tahu betul, kalau kondisi negara kita telah begitu terpuruk. Demokrasi mulai menjelma menjadi sebuah “dinasti”. Sehingganya, betul kata Adian Napitupuluh bahwa, “dari manakah definisi Indonesia baik-baik saja?”
Berbagai oknum telah dibutakan oleh jabatan dan uang. Sehingga kesejahteraan masyarakat mulai digadaikan dengan kelanggengan keluarga. Dikikisnya pilar negara melalui oknum-oknum pemerintah yang meretakkan sekaligus merapuhkannya.
Lalu siapakah yang akan memperbaiki kerusakan itu, kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri. Diskusi menjadi salah satu sarana tepat hari ini, sedangkan segelas kopi-lah yang menambah kenikmatannya. Ini dalam rangka bersama merawat perjuangan para pahlawan terdahulu, mengoreksi masa kini, dan menata masa depan nanti agar lebih baik. Bukan hanya sebagai warga negara, kita hanya bisa diam meratapi nasib. Maka mari kita berpikir secara kritis, sebab pasrah terhadap keadaan adalah kunci terpuruknya sebuah kehidupan.
Mengubah mindset “Ngopi”
Terkait dengan realitas saat ini, patutlah kita benahi secara bersama. Ngopi dengan niatan nge-game, pacaran, ghibah, dan lain sebagainya harus mulai kita rubah perlahan tapi pasti. Karena mengetahui nilai dari semua tindakan itu hanya menghambat, atau malah sampai mematikan kepedulian kita pada kehidupan.
Layaknya kita tahu, kalau main game di cafe kita justru dijauhkan dari berbagai literatur berita dan keilmuan. Lalu, pacaran membuat kita menjamah kemaksiatan. Dan ghibah justru menjadi sarana yang memperburuk keadaan. Begitulah manfaat yang kita lakukan selama ini. Mari kita sadar, ngopi ala kamu sebenarnya telah memperburuk kedaan.
Kita rindu “ngopi” masa lalu, ngopi yang membakar semangat nasionalisme, semangat berkemajuan dalam membangun bangsa, membangun Indonesia! (Red)
*) Penulis: Sururi Nurullah, Mahasiswa Ushuluddin, Universitas Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur