suaramuda

Ketika Mantanku Berubah Jadi Puisi

Oleh: Fatih Hayatul Azhar *)

SUARAMUDA – Ada satu hal aneh yang sering terjadi setelah hubungan berakhir, mantan yang dulu memang bikin hidup jadi kayak naik rollercoaster, suka tiba-tiba berubah jadi sosok yang romantis, kadang berubah jadi jemuran yang belum diangkat, nyaris seperti puisi.

Seolah-olah semua momen pahit dan manis yang pernah kita alami bersamanya telah disulap menjadi bait-bait indah, meski kenyataannya tidak seindah itu. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada satu atau dua orang, tapi hampir pada semua orang yang pernah merasakan cinta dan kehilangan.

Kenangan Memang Jago Merapikan yang Berantakan

suaramuda

Pernahkah kamu merasa bahwa semua yang dulu terasa kacau kini terlihat sempurna dalam ingatan? Inilah salah satu keajaiban memori.

Melalui bukunya, “The Pleasure of Finding Things Out”, Richard Feynman menuliskan, “The first principle is that you must not fool yourself—and you are the easiest person to fool.”

Ingatan kita, pada dasarnya, sangat pandai menipu kita. Semua pertengkaran kecil, debat tanpa ujung, dan ketidaksepahaman, entah bagaimana, diubah oleh kenangan menjadi kisah cinta yang harmonis. Seolah-olah otak kita punya editor yang suka menghapus adegan yang tidak enak dilihat dan hanya menyisakan yang manis-manis saja.

Padahal, kenyataan di masa lalu mungkin jauh dari sempurna. Mungkin kita sering berdebat soal hal-hal remeh atau saling menyalahkan hanya karena lupa karcis parkir.

Namun setelah hubungan berakhir, ingatan kita bekerja seperti editor yang handal, merapikan segala kekacauan dan menjadikannya sesuatu yang tampak lebih indah dari yang sebenarnya. Seperti bagaimana kita lebih suka mengingat hujan sebagai sesuatu yang romantis, meski waktu itu kita basah kuyup dan kedinginan.

Sebenarnya, proses ini sangat manusiawi. Kenangan memang cenderung merapikan yang berantakan, karena dengan cara itu, kita bisa berdamai dengan masa lalu.

Mengingat mantan sebagai seseorang yang sempurna bukan karena dia benar-benar sempurna, tapi karena otak kita butuh narasi yang bisa diterima oleh hati. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba mantan yang dulu sering bikin kesal sekarang terlihat seperti puisi yang indah, padahal dulu dia cuma suka telat balas chat.

Kenyataan Itu Hambar, Imajinasi yang Bikin Rasanya Legit

Kita seringkali terjebak dalam kenyataan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Saat pacaran dulu, mungkin kita sering merasa bosan, mengulang-ulang rutinitas yang sama, seperti makan di tempat yang itu-itu saja atau nonton film yang sudah terlalu banyak direkomendasikan.

Kenyataan seperti ini tidak punya rasa yang cukup kuat untuk diingat. Maka, di sinilah imajinasi masuk untuk menambah rasa. Imajinasi itu seperti MSG dalam makanan: bikin segalanya jadi lebih gurih.

Dalam bukunya, “The Doors of Perception”, Aldous Huxley membahas bagaimana persepsi kita terhadap dunia dipengaruhi oleh pikiran kita sendiri. Imajinasi kita memiliki kemampuan untuk mengubah sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa.

Saat hubungan sudah berakhir, kita sering kali mengimajinasikan kembali momen-momen itu dengan bumbu tambahan yang membuatnya tampak lebih menarik. Tiba-tiba, kenangan tentang menonton film di rumah berubah menjadi malam yang penuh keintiman dan obrolan mendalam, padahal waktu itu mungkin kita hanya ‘diam-diaman’ karena salah satu dari kita tertidur.

Imajinasi kita, dengan cara yang absurd, menjadikan mantan sebagai sosok protagonis dalam kisah cinta yang dramatis. Seolah-olah segala hal yang dulu terjadi punya makna yang lebih besar sekarang, hanya karena kita sudah tidak bersamanya lagi.

Mirip seperti fenomena “jarak, membuat hati semakin rindu.” Tapi itu bukan karena kenyataan di masa lalu yang begitu indah, melainkan karena imajinasi kita menambahkan lapisan-lapisan romantis yang sebenarnya tidak ada di sana.

Kita menciptakan puisi dari kenangan yang sebenarnya hambar, karena kita butuh alasan untuk menjelaskan mengapa kita merindukan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu istimewa.

Jadi, mantan yang dulu sering bikin kita jengkel kini menjadi sosok yang terbungkus indah dalam imajinasi kita, bukan karena dia benar-benar istimewa, tapi karena kita sudah mengedit ingatan itu dengan bantuan imajinasi yang kaya rasa.

Rindu Itu Puitis, Tapi Juga Bisa Jadi Terganggu oleh Kenangan Lama

Rindu sering kali menjadi sumber inspirasi terbesar dalam menulis puisi, atau setidaknya, dalam memikirkan kembali mantan yang dulu pernah mengisi hidup kita.

Tapi, rindu juga bisa sangat menyesatkan. Kita cenderung merindukan bukan hanya orangnya, tapi juga perasaan yang pernah dia bawa. Laiknya orang yang merindukan aroma kopi di pagi hari, padahal sebenarnya dia hanya butuh energi dari kafeinnya, bukan aromanya.

Menurut teori “The Emotional Brain” karya Joseph LeDoux, perasaan yang kita alami saat merindukan seseorang lebih sering berakar pada ingatan emosional daripada pada fakta sebenarnya. Artinya, kita tidak benar-benar merindukan mantan, tapi kita merindukan sensasi yang muncul saat bersamanya—perasaan aman, dicintai, atau bahkan hanya kebiasaan memiliki seseorang di sekitar.

Yang tidak kita sadari adalah rindu juga bisa terganggu oleh kenangan lama yang tidak semanis itu. Tiba-tiba, di tengah-tengah perasaan romantis, kita teringat saat-saat dia terlambat datang atau saat kita bertengkar karena hal sepele.

Rindu, yang awalnya terasa manis, bisa berubah menjadi pahit karena kenangan lama yang tidak sepenuhnya hilang. Tapi justru inilah yang membuat rindu begitu kompleks, puitis, dan absurd pada saat yang bersamaan.

Jadi, ketika kita merasa rindu pada mantan dan tiba-tiba menulis puisi tentangnya, ingatlah bahwa mungkin itu bukan rindu pada dirinya yang sebenarnya, tapi pada perasaan yang pernah kita rasakan.

Rindu itu puitis, tapi juga penuh ilusi, dan seringkali, kita terjebak di antara kenyataan dan imajinasi yang tercampur aduk dalam ingatan kita.

Master of Ceremonies di Panggung Imajinasi

Waktu memiliki peran besar dalam mengubah cara kita melihat mantan. Semakin lama kita jauh dari dia, semakin besar kemungkinan kita untuk mengubah ingatan kita tentang dia menjadi sesuatu yang lebih indah. Dalam konteks ini, waktu bekerja seperti Master of Ceremonies (MC) di sebuah acara besar, yang terus-menerus mengarahkan perhatian kita pada momen-momen yang dipilihnya, mengabaikan yang lain.

Ernest Becker, dalam bukunya “The Denial of Death”, menjelaskan bahwa waktu memiliki cara untuk membuat kita mengingat hal-hal yang nyaman bagi kita, dan melupakan hal-hal yang menyakitkan.

Itu merupakan mekanisme bertahan hidup yang membantu kita untuk tetap waras dan terus bergerak maju dalam hidup. Waktu memberikan jarak antara kita dan kenangan buruk, sehingga yang tersisa adalah potongan-potongan kenangan yang menyenangkan, yang akhirnya membentuk pandangan kita tentang masa lalu.

Tidak heran jika kita mulai mengingat mantan sebagai seseorang yang luar biasa, meskipun dulu kita sering kesal padanya. Waktu telah menyaring kenangan kita, menghapus yang negatif, dan hanya menyisakan yang positif.

Waktu, sebagai MC yang lihai, terus memoles cerita cinta kita, menjadikannya lebih puitis daripada yang sebenarnya. Bukan berarti kita tidak realistis, hanya saja kita cenderung lebih memilih versi cerita yang lebih mudah diterima oleh hati.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Marcel Proust, “The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.”

Cinta Itu Sebenarnya Soal Imajinasi yang Berlebih-lebihan

Jean-Paul Sartre, dalam Being and Nothingness, menulis bahwa “we are our choices.”

Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa cinta, pada dasarnya, adalah tentang imajinasi yang berlebihan. Kita sering kali membayangkan mantan sebagai sosok yang ideal, bukan karena dia benar-benar seperti itu, tapi karena kita menginginkan dia seperti itu. Imajinasi kita menjadi alat yang kuat untuk membentuk narasi cinta yang lebih indah daripada kenyataannya.

Namun dalam cinta, sering kali kita adalah pilihan imajinasi kita sendiri. Kita memilih untuk mengingat mantan dengan cara yang lebih romantis, karena kita ingin percaya bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang istimewa. Imajinasi memungkinkan kita untuk menciptakan kembali cerita cinta kita dengan cara yang lebih sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Ini menjelaskan mengapa setelah putus, mantan sering kali berubah menjadi puisi dalam ingatan kita. Bukan karena dia benar-benar puitis, tapi karena kita telah menciptakan versi dirinya yang puit is dalam kepala kita. Cinta, pada dasarnya, bukan hanya tentang siapa yang kita cintai, tapi juga tentang bagaimana kita mengimajinasikan orang tersebut.

Jadi, ketika mantan berubah menjadi puisi, itu bukanlah kebetulan. Itu adalah hasil dari imajinasi kita yang berlebihan, yang ingin mengubah kenangan biasa menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Cinta dan imajinasi, pada akhirnya berjalan beriringan, menciptakan realitas yang lebih indah daripada yang sebenarnya ada. Dan itulah yang membuat cinta dan kenangan tentang mantan begitu rumit dan indah pada saat yang bersamaan.

*) Fatih Hayatul Azhar, mahasiswa swasta berjenis kelamin laki-laki yang hobi membaca dan senang makan pisang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo