
Oleh: Lexi Anggal *)
SUARAMUDA – Dalam beberapa bulan terakhir, dinamika politik nasional semakin memanas. Jelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2024, sejumlah koalisi besar mulai terbentuk dan partai-partai politik berebut kursi dan kekuasaan.
Di tengah gempita politik nasional, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: bagaimana suara rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) diposisikan dalam peta besar ini? Apakah aspirasi masyarakat di daerah tertinggal ini didengar atau justru tenggelam di tengah hiruk-pikuk ambisi politik partai besar?
Koalisi Besar dan Representasi Lokal
Koalisi besar dalam politik Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak era Reformasi, partai-partai politik cenderung membentuk aliansi untuk memastikan kekuasaan mereka di parlemen maupun eksekutif.
Namun, hemat saya yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana koalisi ini mampu merepresentasikan suara daerah seperti NTT. Sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, NTT memiliki tantangan tersendiri dalam mendapatkan perhatian dari elite politik nasional.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, ditemukan bahwa hanya 20% warga NTT merasa suaranya benar-benar diperhatikan oleh pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama, di mana angka kemiskinan di NTT mencapai 20,80%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9,71% (BPS, 2023).
Keterbelakangan ekonomi ini semakin memperjelas bahwa isu-isu daerah seperti NTT sering kali tidak mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan di tingkat nasional.
Elite Politik dan Retorika Kosong
Koalisi besar yang terbentuk menjelang Pemilu 2024 tampaknya lebih berfokus pada kekuasaan dan kepentingan politik jangka pendek, dibandingkan dengan keberpihakan kepada rakyat. Koalisi PDI-P, Golkar, dan Gerindra, yang menjadi kekuatan dominan, sering kali menggunakan retorika populis dalam kampanyenya. Namun, hemat saya pertanyaannya adalah: apakah janji-janji ini benar-benar akan terwujud di tingkat lokal?
Prof. Firman Noor dalam artikelnya yang terbit di Jurnal Politik Indonesia (Vol. 8, No. 3 (2023) mencatat bahwa “Koalisi besar cenderung mengabaikan isu-isu lokal karena terlalu sibuk dengan kepentingan pusat.”
Ini berarti, meskipun ada komitmen retorika dari elite politik, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang yang lebar antara janji dan pelaksanaan. Contoh konkret adalah janji pemerintah pusat dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di NTT, yang hingga kini masih berjalan lambat.
Data dari Kementerian PUPR (2022) menunjukkan bahwa hanya 35% dari proyek infrastruktur yang direncanakan untuk NTT telah selesai, sementara sisanya masih berada pada tahap perencanaan atau bahkan belum dimulai. Kegagalan ini mencerminkan bahwa kepentingan daerah sering kali dikesampingkan dalam dinamika koalisi besar yang lebih mengutamakan penguasaan kursi dan jabatan.
NTT di Tengah Persaingan Kepentingan Nasional
Sementara koalisi besar terus memperebutkan kekuasaan di tingkat pusat, NTT sebagai bagian dari Nusantara kerap hanya menjadi “komoditas politik”. Pada masa kampanye, para politisi sering kali berkunjung ke NTT, menjanjikan perubahan, kesejahteraan, dan pembangunan. Namun, setelah pemilu usai, daerah ini kembali dilupakan.
Contoh nyata dari kegagalan representasi ini adalah dalam pengelolaan dana otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia. Sejak 2001, dana otonomi khusus telah digelontorkan ke Papua dan Aceh, tetapi NTT sebagai salah satu provinsi termiskin tidak pernah mendapat prioritas serupa.
Seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhammad Taufik dalam bukunya “Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia: Antara Harapan dan Realita” (2020), mengungkapkan bahwa “NTT selalu dipinggirkan dalam pembagian dana otonomi khusus, meskipun secara statistik, provinsi ini termasuk daerah dengan tingkat kemiskinan dan keterbelakangan tertinggi.”
Keterlibatan NTT dalam proses pengambilan keputusan nasional sering kali hanya bersifat formalitas. Meskipun ada beberapa tokoh politik asal NTT yang menduduki posisi penting di pemerintahan pusat, mereka sering kali terjebak dalam permainan politik koalisi, sehingga kepentingan daerah menjadi terpinggirkan.
Sebagai contoh, Viktor Laiskodat, Gubernur NTT, dalam beberapa kesempatan telah menyuarakan perlunya pembangunan berkelanjutan di NTT. Namun, dalam wawancara dengan Kompas TV (2023), Laiskodat mengakui bahwa “Kebijakan yang diambil di tingkat pusat sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah.”
Masa Depan NTT dalam Peta Politik Nasional
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana NTT dapat menyuarakan aspirasinya dalam dinamika politik nasional yang semakin rumit? Salah satu jalan keluarnya hemat saya adalah dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, baik melalui partisipasi aktif dalam pemilu maupun dengan mengawasi kinerja para wakil rakyat yang terpilih.
Peneliti LIPI, Dr. Dewi Fortuna Anwar dalam bukunya “Demokrasi dan Representasi: Studi Kasus Indonesia” (2021), menyebutkan bahwa “Partisipasi politik yang efektif dari masyarakat daerah adalah kunci untuk memastikan bahwa suara mereka didengar di tingkat pusat.”
Menurutnya, masyarakat NTT harus lebih proaktif dalam menuntut perbaikan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya mengikuti arus besar koalisi politik nasional.
Selain itu, media lokal seperti Pos Kupang memiliki peran penting dalam mendorong diskusi publik yang lebih mendalam tentang isu-isu politik dan sosial di NTT. Dengan memberitakan dan menganalisis isu-isu ini secara kritis, hemat saya, media dapat membantu memperkuat posisi NTT dalam peta politik nasional.
Kesimpulan
NTT berada di persimpangan jalan dalam menghadapi dinamika politik nasional yang kian terpusat pada kepentingan koalisi besar. Suara masyarakat daerah ini sering kali terpinggirkan, meski tantangan yang dihadapi NTT kemiskinan, keterbelakangan infrastruktur, dan minimnya perhatian pusat sangat mendesak. Ironisnya, meski menjadi bahan janji politik kala kampanye, kepentingan NTT nyaris tak pernah diutamakan dalam pengambilan kebijakan nasional.
Retorika populis yang dilontarkan elite politik pusat terbukti hampa, sementara realisasi janji-janji pembangunan masih sangat lambat. Situasi ini hanya memperkuat pandangan bahwa koalisi besar lebih mementingkan perebutan kekuasaan ketimbang kesejahteraan rakyat di daerah.
Namun, harapan belum sepenuhnya pupus. Keterlibatan aktif masyarakat NTT dalam proses politik, mulai dari partisipasi dalam pemilu hingga pengawasan ketat terhadap wakil rakyat yang terpilih, dapat menjadi solusi untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Media lokal juga memegang peranan penting dalam menyuarakan isu-isu lokal dan memastikan bahwa NTT tidak lagi hanya menjadi “komoditas politik” bagi elite pusat.
Kini saatnya NTT bangkit dan menuntut tempat yang pantas dalam peta politik nasional, agar aspirasinya tidak terus-menerus tenggelam dalam hiruk-pikuk koalisi besar yang berambisi menguasai kursi. (Red)
*) Lexi Anggal, tinggal di Boncukode Cibal, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur